Sleman – Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses dari kevakuman yang berpuluh-puluh tahun berlangsung. Hal ini sebenarnya bukan terjadi kali ini dengan adanya sistem Zonasi PPDB, akan tetapi sudah ada rangkaian sebelumnya dari perubahan-perubahan kurikulum. Akan tetapi bisa dibilang sistem Zonasi PPDB menjadi yang paling populer menuai pro dan kontra. Ide fundamental dari Sistem Zonasi PPDB diadopsi dari keberhasilan penerapan sistem ini di negara-negara maju di Eropa Barat, Jepang, Australia. Akan tetapi di Indonesia mengapa kebijakan Zonasi ini menimbulkan kegaduhan? dan Bagaimana memaknai “pro-kontra” kebijakan zonasi PPDB saat ini?
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) UGM merespons atas fenomena yang terjadi saat ini di masyarakat. Sebelumnya pada awal tahun 2019 telah melakukan kajian di Kota Yogyakarta bekerjasama dengan BAPPEDA Kota Yogyakarta menggali berbagai fakta yang terjadi pada proses PPDB tingkat SMP. Fokus pada isu strategis ini juga dilakukan dengan partisipasi melalui dikusi Panel yang diselenggarakan Forum Masyarakat Yogyakarta Istimewa (FORMAYO) Peduli Kualitas Pendidikan Yogya (Minggu 14/07/19) yang diwakili oleh salah satu Peneliti PSEK UGM yaitu Puthut Indroyono di UIN Sunan Kalijaga.
Pada kesempatan diskusi tersebut pemerhati pendidikan, Nayono menyampaikan bahwa “Kebijakan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) meski memiliki tujuan baik, terkait pemerataan kualitas pendidikan, namun pelaksanaannya memiliki syarat dan ketentuan yang baru bisa dilaksanakan ketika semua fasilitas pendidikan merata”. Hal ini menunjukkan bahwa masalah zonasi tidak hanya menyangkut cara PPDB dilakukan, tetapi juga menyangkut masalah pendidikan yang lebih luas, seperti proses pembelajaran siswa, motivasi belajar, prestasi sekolah, masalah orangtua murid dan guru, dan masyarakat. “Isu ini juga menyangkut masalah pemerintahan, masalah sosial budaya, masalah ekonomi, politik, dan lain-lain. Pendek kata, munculnya pro kontra dalam PPDB berbasis zonasi akhir-akhir ini harus dipahami dengan perspektif yang luas” Lanjut Puthut. Tujuan sistem zonasi idealnya memutus rantai kemiskinan, dengan argumen sebagai berikut:
- studi MacArthur Foundation, yang menyatakan bahwa tata kota dan perumahan inklusif dapat membawa masyarakat miskin semakin dekat dengan sekolah.
- Prinsip dasar pemerataan pendidikan terdiri dari dua dimensi, yaitu: (1) Keadilan dan (2) Inklusi
- Quality, Equity, and Equality in Education Sistem juga memperkuat referensi pentingnya prioritas investasi pendidikan tingkat awal untuk memaksimalkan kualitas input sekolah di masa depan
Penerapan di Kota Yogyakarta dengan Persebaran Sekolah yang tidak merata membawa dampak proses PPDB SMP karena ketimpangan akses warga, muncul wilayah blankspot. Fenomena yang menggambarkan wilayah yang sama sekali tidak mendapatkan akses. Ada dua Kelurahan yang mencapai tingkat 100%, yakni Giwangan dan Patangpuluhan, keduanya Umbulharjo dan Wirobrajan. Dengan daya tampung SMP Negeri (3487 kursi) yang hanya mampu menampung separoh lulusan SD (dalam dan luar kota) permasalahan PPDB akan terus berulang.
Dari hasil uraian diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan PPDB berbasis zonasi bukan terletak pada esensi tujuan kebijakan, tetapi lebih banyak dilihat dari aspek-aspek pelaksanaannya. Sebagai sebuah politik kebijakan, PPDB berbasis zonasi boleh dibilang sudah berada pada jalan yang benar (on the right track), sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang lebih luas.
Materi Pemantik Diskusi dapat diunduh pada tautan berikut:
Makalah Pro Kontra Sistem Zonasi [Mau Kemana Ujung Kebijakan Ini] – Puthut Indroyono UIN
Rekaman Paparan: