MASALAH klasik di pasar-pasar rakyat kita seakan tak pernah beranjak dari dulu. Banyak regulasi terkesan reaktif, tidak sistematis. Kesan regulasi tanpa visi ini berakibat pada kemunduran ekonomi dan ketimpangan yang melebar. Kebijakan revitalisasi cenderung menyasar bangunan fisik, kelembagaan sosial-ekonomi dan koperasi tetap sama. Revitalisasi tidak menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh akar masalah. Persoalan modal, omzet, dan rentenir tetap berkepanjangan. Hal inilah yang menjadi kesimpulan kajian Ombudsman DIY dan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) UGM baru-baru ini.
Masalah Kelembagaan
Melalui rangkaian diskusi dengan pedagang, paguyuban, lurah, serta dinas-dinas terkait, disimpulkan beberapa hal. Pertama, produk perundangan terkait penataan dan pengembangan pasar rakyat dan ritel belum mampu menyentuh akar masalah. Regulasi hanya mengatur masalah permukaan dan teknis, tidak memuat tegas bagaimana arah dan peta jalan peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan di pasar. Padahal ini merupakan pilar-pilar ekonomi kerakyatan, bentuk sistem ekonomi yang diamanatkan konstitusi.
Kedua, tata kelola pasar sentralistik beriringan dengan kompleksitasnya permasalahan pasar rakyat sebagai akibat lemahnya organisasi pedagang. Institusi ini tidak diberi kesempatan tumbuh-kembang ikut memikirkan jalan-ke luar tata kelola pasar yang lebih baik. Semestinya regulasi mendorong kemitraan Pemda dan organisasi pedagang, untuk pengembangan tata kelola aset, keuangan, dan sumber daya manusia.
Ketiga, jejaring antarpasar terbatas bersifat sosial, belum menjadi jaringan ekonomi dan bisnis. Koperasi pasar telah belasan tahun berkutat pada simpan pinjam, pun harus bersaing dengan lembaga besar maupun rentenir yang masuk ke pasar-pasar. Karenanya perlu dikembangkan koperasi sekunder untuk merealisasikan kerjasama bisnis antar koperasi yang dapat bergerak dalam pengadaan barang kolektif, penguatan modal finansial, maupun usaha lain yang mendukung.
Keempat, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pengelola masih bercorak parsial dan temporer. Dampak program belum secara signifikan mengarah pada problem-solving. Di lain pihak, ada kebutuhan penguasaan iptek agar pasar rakyat dapat berkembang modern meski tetap mempertahankan tradisi.
Pasar Beradab
Menyongsong peradaban baru sesuai Visi DIY, selain kerja-keras pemerintah, yang tidak kalah penting adalah dukungan ribuan pedagangnya. Lantas, apa yang bisa dilakukan? Jawabnya antara lain bisa ditelusuri dari rekomendasi studi ini.
Pertama, penguatan modal intelektual. Langkahnya dengan menghidupkan forum-forum diskusi dan pendidikan temporer, yang selama ini sudah dilakukan. Cara ini perlu ditata-ulang dalam sebuah desain pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan. Pola ini secara terbatas pernah diselenggarakan ‘Sekolah Pasar’ di Pasar Kranggan, Sambilegi, Potorono, dan beberapa pasar lain di DIY dan Jateng. Kurikulum disesuaikan kebutuhan, problem-solving, dan upaya pengembangan kapasitas dan partisipasi pedagang dan kelembagaannya dalam tata kelola pasar ke depan.
Kedua, dukungan pembiayaan. Pemerintah dapat membuat kebijakan semisal 20% retribusi harus dialokasikan untuk membiayai peningkatan SDM dan institusi pedagang. Himbauan yang pernah disampaikan DPW APSSI DIY ini perlu dituangkan dalam dokumen kebijakan pemerintah.
Selain itu, pada setiap pasar harus disusun Rencana Pengembangan Jangka Menengah Pasar (RPJMPas) melalui Musrenbang Pasar. Institusi penting lain bisa dikembangkan dengan musyawarah bulanan. Peraturan Pasar bisa disusun bersama menyangkut aset, zonasi, produk, dan keuangan untuk mengatasi masalah seperti persaingan tidak sehat, rentenir, dan permainan harga.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan. Sebagaimana amanat konstitusi, bahwa ‘perekonomian disusun sebagai usaha bersama’, artinya semua harus berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Kata kuncinya partisipasi. Bagaimana pasar rakyat dapat maju dan modern kalau pedagangnya tidak dilibatkan. Bagaimana menjaga kebersihan dan aset pasar, jika mereka tidak mengenal tata kelola kebersihan dan sampah. Bagaimana mendorong visi pasar mandiri, bila mayoritas pelaku tidak terlibat dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Pasar (APBPas).
Rekomendasi-rekomendasi di atas sebenarnya bukan hal baru. Beberapa sudah dipraktikkan di pasar. Praktik partisipasi pedagang juga pernah dikembangkan tokoh kota Yogyakarta ketika merelokasi pasar. Joko Widodo, Walikota Solo kala itu juga pernah melakukan relokasi pasar melibatkan partisipasi pedagang. (ed)