Latar belakang
Konsep demokrasi ekonomi atau Ekonomi kerakyatan sudah lama dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920), Carnoy (1980), Dahl (1985), Poole (1987), dan Smith (2000)). Konsep ini bahkan sudah dipikirkan ekonom Indonesia, khususnya M. Hatta, sejak tahun 1930 yang kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Konsep ini terus dikembangkan oleh ekonom-ekonom Indonesia dengan berbagai ragam terminologi (Mubyarto (1980), Swasono (1987), Arief (2000), dan Baswir (2002). Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan Ekonomi kerakyatan (Mubyarto, 1997).
Namun implementasi dari strategi kebijakan ekonomi kerakyatan ini masih sulit untuk dinilai keberhasilannya, apakah sudah dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ada suatu indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan Ekonomi kerakyatan baik di dalam maupun luar negeri. Alat ukur ekonomi yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi, HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi.
Rasio gini Indonesia meningkat dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin justru turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama (Kuncoro, 2007). Pada saat yang sama nilai High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia adalah sebesar 16%, padahal di Asia-Pasifik 8,6% dan rata-rata 8,3%. Sementara per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Per 2006, UMKM yang sebesar 99,9% dari total pelaku usaha di Indonesia hanya menikmati 37,6% ”kue nasional”, sedangkan usaha besar yang hanya 0,1%-nya justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Nilai ini naik sebesar 3,6% dibanding tahun 2003 (KNKUKM, 2007).
Dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah (lKuncoro, 2008). Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Jakarta).
Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep Ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah, banyak daerah secara eksplisit menyatakan Ekonomi kerakyatan sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi pembangunannya. Instrumen Index Demokrasi Ekonomi ini kiranya dapat menjadi salah satu alat ukur sejauh mana pembangun daerah telah menerapkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Awan Santosa, S.E., M.Sc. di (telp) 081 6169 1650