Pembangunan Desa Berkelanjutan
Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat. Tahun 2014 Indonesia masuk jajaran sepuluh besar perekonomian dunia. Pertumbuhan tersebut harus dibayar mahal dengan ongkos sosial dan ekologis. Pesatnya pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan Indeks pembangunan manusia Indonesia yang masih rendah, justru meningkatkan kesenjangan sosial dan spasial (geografis). Kerusakan lingkungan terjadi semakin cepat sejalan dengan meluas dan mendalamnya eksploitasi sumber daya alam. Indonesia merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia dengan 2,053 milyar ton pada 2011.
Secara sosiologis dan ekologis, kenyataan ini jelas merugikan masyarakat dan kelestarian alam Indonesia. Sebagai negara yang percaya pada Ketuhanan yang Maha Esa, dengan mayoritas Islam, seharusnya hal ini tidak terjadi. Ajaran Islam jelas menegaskan, bahwa dilarang membuat kerusakan di muka bumi, apalagi dengan eksplotatif yang merusak lingkungan dan keseimbangan ekosistem (QS.7:56). Sebab, hal tersebut berdampak pada keterpurukan ekonomi dan kerusakan alam.
Sayangnya, keterpurukan yang harusnya bisa dihalau tetapi terus berjalan. Kesenjangan kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan menjaga kelestarian lingkungan ini terjadi karena pola pembangunan ekonomi yang cenderung eksklusif dan didominasi oleh sektor industri modern padat modal. Di perdesaan kepemilikan dan kendali atas penggunaan lahan bergeser dari petani dan masyarakat desa ke tangan non-petani dan industri modern. Masyarakat desa yang paling berkepentingan tidak berdaya menghadapi derasnya investasi yang mengubah ruang sosial secara drastis. Sepuluh tahun terakhir perkembangan ini mendorong jutaan petani dan masyarakat desa keluar dari desa mereka mencari penghidupan baru – dengan begitu menimbulkan masalah baru – di kota.
Perlu adanya intervensi sistematis dari para perencana dan pelaksana pembangunan, terutama sektor publik dan pemerintah. Kebijakan baru diperlukan dan kebijakan lama yang baik perlu diperkuat pelaksanaannya untuk mengimbangi kepentingan pertumbuhan ekonomi dengan kepentingan pelestarian lingkungan. Di tingkat masyarakat perlu ada intervensi yang sistematis pula untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat – terutama masyarakat desa – agar dapat mengembangkan produksi ekonomi, penataan ruang dan masyarakat, serta produksi energi terbarukan. Hanya dengan begitu masyarakat desa dapat berperan lebih besar dan menentukan dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Tentu ini bukan upaya yang mudah karena menyangkut perubahan cara pandang dan tatanan sosial. Berbagai “intervensi hijau” yang coba diperkenalkan selama ini gagal justru karena diterapkan dari atas dengan berbagai target yang berada di luar kendali dan pengetahuan masyarakat sendiri. Beberapa proyek pelestarian lingkungan seperti penetapan wilayah konservasi malah mengorbankan kepentingan ekonomi masyarakat dan akhirnya bermuara pada penyingkiran masyarakat dari wilayah hidup mereka atas nama kelestarian lingkungan. Rute tempuh seperti ini sudah semestinya ditinggalkan. Diperlukan pendekatan berbeda dalam intervensi hijau, yang melihat kaitan erat antara kegiatan ekonomi, kondisi lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat serta menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap upaya perubahan. Pendekatan multidisiplin dalam intervensi hijau antara lain dapat mencakup: (1) Demokrasi Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan; (2) Agama, Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial; (3) Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan; (4) Lingkungan, Sanitasi dan Energi Bersih; (5) Perencanaan Spasial dan Pengembangan Komunitas Swadaya yang Berkelanjutan; (6) Manajemen Pengetahuan, Pengembangan Media dan Kebebasan Akses untuk Informasi.
Konsorsium Kemala
KONSORSIUM KEMALA adalah konsorsium yang terdiri dari 4 (empat) lembaga, yaitu Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-PBNU), Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (PUSTEK UGM), Pusat Studi Energi UGM (PSE UGM), dan Center For Civic Engagement and Studies (CCES) Yogyakarta. Bertindak sebagai lead consortium adalah LAKPESDAM-PBNU. Bekerjasama dengan MCA-Indonesia, Konsorsium KEMALA melaksanakan project “Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Miskin Melalui Usaha Hijau Didukung Energi Terbarukan”, berlokasi di Jorong Tandai, Nagari Lubuk Gadang Timur (Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat), Desa Rawasari dan Desa Sungai Rambut, (masing-masing di Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi).
Kerangka project bertolak dari pemahaman yang menyeluruh tentang kaitan antara pertumbuhan ekonomi, kondisi lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat. Tujuan besarnya adalah untuk menanggulangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi, dengan cara meningkatkan produktivitas pertanian dan perikehidupan rumah tangga desa (rural household livelihood). Proyek ini juga sejalan dengan agenda untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals, 2015), terutama dalam kaitan mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan, mengembangkan komunitas swadaya, melestarikan lingkungan dan menghasilkan energi bersih. Proyek juga seiring dengan prioritas pemerintahan Jokowi – yang dikenal dengan sebutan Nawacita – khususnya dalam hal membangun Indonesia dari pinggir (desa) dan menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan keamanan manusia (human security).
Konsorsium Kemala melakukan rekruitmen 10 kader hijau tiap desa yang dilaksanakan melalui proses seleksi di desa. Kader Hijau adalah pemuda-pemudi yang merupakan warga desa/jorong setempat yang terpilih untuk menjadi fasilitator dan motor penggerak perubahan sosial di desa. Kader Hijau akan mengawal dan secara aktif terlibat dalam kegiatan peningkatan produktifitas yang diselenggarakan oleh project dari awal hingga menjaga keberlanjutannya.
Selama 5 hari (Minggu, 6 November 2016 – Rabu, 10 November 2016) kader hijau ketiga desa telah melaksanakan kegiatan Pelatihan Dasar Terpadu Kader Hijau (Green Visioning). Kegiatan ini menjadi awal dari kegiatan pembelajaran melalui Sekolah Hijau yang terdiri dari tiga tahap selama kurang lebih 8 bulan, yaitu pembelajaran dasar, pembelajaran menengah dan pembelajaran lanjut. Melalui kegiatan Green Visioning ini diharapkan dapat membangun visi, membuka wawasan dan mengembangkan pemahaman baru kepada kader hijau tentang pembangunan hijau dan pembangunan desa yang memanfaatkan potensi energi terbarukan dengan pengelolaannya yang berbasis komunitas dan sumber daya setempat. Kegiatan Green Visioning mengambil lokasi di kampus UGM dan dua desa percontohan sosial-ekonomi-budaya dan PLTS / energi terbarukan. Kegiatan Seminar Nasional ”Globalisasi, Demokrasi, Agama dan Lingkungan: Pendekatan Multidisiplin untuk Pembangunan Desa Berkelanjutan” menjadi rangkaian akhir kegiatan Green Visioning dan diharapkan menjadi wahana membangun visi bersama tentang pembangunan desa yang berkelanjutan.
Implementasi energi terbarukan sebagai penggerak ekonomu pedesaan melalui pengelolaan sumber daya lokal, dukungan teknisnya dengan meningkatkan kapasitas masyarakat, serta dorongan kebijakannya di tingkat desa/nagari, diharapkan menjadi model baru pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang tidak hanya melihat dari sisi elektrifikasinya saja, namun juga bagaimana komunitas pedesaan yang mandiri dapat terbentuk sehingga keberlanjutan sistemnya dapat terjamin.