Polemik Kebijakan Baru LPG 3 Kg Ini Tanggapan Peneliti Senior PUSEKRA UGM Fahmy Radhi

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru terkait distribusi gas LPG 3 kg bersubsidi, yang kini tidak lagi dijual melalui pengecer atau warung-warung kecil, melainkan langsung melalui pangkalan resmi. Kebijakan ini memungkinkan siapa saja untuk membuka pangkalan gas 3 kg dengan mendaftarkan usaha mereka melalui situs resmi OSS (Online Single Submission).

Menurut pengamat ekonomi energi dan peneliti senior Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) UGM, Fahmy Radhi, kebijakan ini justru berpotensi mempersulit masyarakat miskin yang bergantung pada pengecer untuk mendapatkan gas bersubsidi dengan mudah dan dekat dari rumah.

Selama ini, warga miskin dapat membeli gas 3 kg di warung-warung kecil atau pengecer di lingkungan mereka, yang sering kali buka 24 jam dan dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharuskan pergi ke pangkalan resmi yang terpusat dan hanya buka pada jam tertentu, memicu kekhawatiran akan terjadinya antrian panjang.

Protes Masyarakat

Fahmy menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya akan menambah beban bagi masyarakat miskin, tetapi juga berisiko mematikan usaha mikro dan kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada penjualan gas 3 kg.

Ia mengungkapkan, banyak pengecer skala kecil yang menjual gas dengan harga yang lebih tinggi dari harga resmi, namun masih terjangkau oleh konsumen karena lebih dekat dan praktis. Dalam beberapa kasus, pengecer bahkan menjual gas dengan harga sedikit lebih tinggi namun dengan layanan yang lebih fleksibel.

“Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, banyak usaha kecil yang akan bangkrut dan membuat masyarakat miskin semakin terjepit. Jika harga gas naik, konsumen tentu akan terbebani,” jelas Fahmy.

Selain itu, kebijakan baru ini berisiko menciptakan kesulitan dalam distribusi yang lebih terpusat dan rentan terhadap kelangkaan, karena pangkalan yang terbatas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang tersebar luas.

Alternatif Solusi

Fahmy mengusulkan solusi agar pemerintah lebih fokus pada perbaikan sistem distribusi, bukan dengan melarang pengecer. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan data yang valid dari Kementerian Sosial untuk menentukan penerima subsidi gas 3 kg, sehingga bantuan dapat diberikan tepat sasaran.

Ia juga menyarankan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap harga jual gas 3 kg di pasar, dengan menetapkan harga jual tertinggi dan memantau apakah harga yang dibebankan oleh pengecer terlalu tinggi.

“Pengawasan terhadap harga jual gas di tingkat pengecer harus lebih ketat, karena pemerintah daerah memiliki peran penting dalam memastikan harga yang wajar. Jika terjadi penyimpangan harga yang ekstrem, maka aparat harus turun tangan,” tambahnya.

Tanggapan Pemerintah

Di sisi lain, pemerintah membuka peluang bagi pengecer untuk mendaftar sebagai pangkalan resmi melalui sistem OSS, yang memungkinkan mereka untuk mengajukan izin dan mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Namun, Fahmy menyebutkan bahwa proses ini sulit dijangkau oleh pengecer kecil karena modal yang dibutuhkan untuk membeli gas dalam jumlah besar di pangkalan.

Fahmy menilai bahwa kebijakan ini tidak realistis karena pengecer kecil tidak memiliki kapasitas finansial untuk beralih menjadi pangkalan resmi. “Pemerintah harus mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mengizinkan pengecer untuk tetap berjualan gas 3 kg,” tegas Fahmy.

Kebijakan baru pemerintah yang melarang pengecer menjual gas 3 kg bersubsidi telah menimbulkan polemik. Sementara pemerintah beralasan kebijakan ini untuk menata ulang distribusi gas bersubsidi agar lebih tepat sasaran, banyak pihak, terutama masyarakat miskin dan pengecer kecil, merasa kebijakan ini akan semakin menyulitkan mereka.

Fahmy menyarankan agar pemerintah segera mengevaluasi kebijakan ini dan memperbaiki sistem distribusi serta pengawasan harga, agar tidak membebani rakyat kecil dan menjaga stabilitas ekonomi.

Pemerintah Tanggapi Protes

Pemerintah Indonesia kembali melakukan perubahan kebijakan terkait distribusi gas LPG 3 kg bersubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan bahwa mulai Selasa (3/2/2025), pengecer gas 3 kg dapat kembali beroperasi, namun dengan perubahan status menjadi sub-pangkalan. Langkah ini diambil untuk menormalkan kembali jalur distribusi gas bersubsidi dan memastikan pelayanan yang lebih terstruktur.

Menurut Bahlil, semua pengecer yang ada sebelumnya kini berfungsi sebagai sub-pangkalan. “Semua pengecer ya, pengecer yang ada kami fungsikan. Mereka per hari ini mulai menjadi sub-pangkalan,” ujar Bahlil dalam keterangan resminya.

Dengan status baru ini, pengecer akan dibekali aplikasi digital bernama MerchantApps Pangkalan Pertamina, yang memungkinkan mereka untuk mencatat data pembeli, jumlah tabung gas yang dibeli, serta harga jualnya. Aplikasi ini bertujuan untuk menjaga transparansi dan efisiensi distribusi, serta memastikan subsidi tepat sasaran.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Pertamina telah merespons protes masyarakat terkait kebijakan sebelumnya dengan solusi baru, yaitu menjadikan pengecer gas 3 kg sebagai sub-pangkalan. Selain memastikan ketersediaan gas bersubsidi, langkah ini juga memberikan peluang bagi pengecer untuk menjadi bagian dari sistem distribusi yang lebih teratur dan diawasi. Diharapkan, dengan adanya aplikasi MerchantApps dan kewajiban membawa KTP, distribusi LPG 3 kg dapat lebih transparan, efisien, dan tepat sasaran.

Penulis: Ryan Ariyanto

Share This Post

Rilis Terbaru

Leave A Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

*

Informasi dan Kerja sama

Silakan menghubungi tim kami melalui: