Arsip:

Highlight

Pandemi Covid-19 Momentum Refleksi Kebijakan Perekonomian Nasional

Pemerintah negara-negara di dunia menyikapi dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor perekonomian dengan beragam kebijakan, salah satunya dengan menyediakan stimulus fiskal.

Menurut Ekonom UGM, Dr. Revrisond Baswir, MBA, di samping memikirkan kebijakan untuk memulihkan perekonomian seperti sebelum terjadinya pandemi, perlu dilakukan refleksi terhadap kebijakan perekonomian nasional dan mengoreksi kelemahan-kelemahan sistemik.

“Momen pandemi harus dijadikan trigger untuk mengoreksi perekonomian nasional kembali ke amanat Undang-Undang Dasar,” ucapnya dalam Seminar Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM bertajuk “Tantangan Demokrasi Ekonomi di Era Pandemi” yang digelar secara daring, Rabu (17/6).

Pada awal kemunculan kasus Covid-19 di Indonesia, masyarakat dinilai belum melihat pandemi ini sebagai hal yang serius dan berdampak pada jangka panjang. Hal ini dinilai mengkhawatirkan karena dari kalangan atas sampai masyarakat menurutnya memiliki kecenderungan kuat tidak memahami secara sungguh-sungguh atau bahkan tidak menerima kenyataan apa adanya.

“Itu mengkhawatirkan karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, mungkin saja pandemi ini berlangsung tidak hanya setahun. Pemahaman kita yang realistik dan jujur akan menyebabkan kita bisa menyikapi secara proporsional,” terangnya.

Ia menyebut prediksi dari sejumlah lembaga terhadap pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020. Bulan April silam, IMF memprediksi perekonomian global mengalami kontraksi sebesar minus tiga persen. Sementara itu bulan Juni Bank Dunia membuat prediksi pertumbuhan ekonomi global berada di angka minus 5,2 persen, dan prediksi OECD beberapa waktu setelahnya menyebut angka minus 6 persen.

“Kelihatan dari sini bahwa lembaga internasional pun bukan mau melebihkan, tapi memang terdapat tanda-tanda bahwa masalah ini serius,” ungkapnya.

Staf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dr. Hempri Suyatna, menyebut pada masa pandemi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari hambatan proses produksi akibat kesulitan bahan baku dan modal hingga terhambatnya distribusi dan pemasaran, yang menyebabkan penurunan pendapatan hingga 90 persen dan pemutusan hubungan kerja.

Kebijakan kenormalan baru sendiri, menurutnya, muncul sebagai respons dari desakan ekonomi akibat pandemi.

“Kebijakan new normal di Indonesia bukan dikarenakan Indonesia sudah aman dari Covid-19, tapi lebih karena desakan ekonomi,” ucapnya.

Ia menyayangkan kebijakan terkait UMKM yang dinilai menimbulkan paradoks. Hempri memaparkan sejumlah rekomendasi kebijakan, di antaranya pengembangan stimulus baru untuk UMKM, grand design pemulihan ekonomi lokal, serta komitmen pemerintah dan transparansi kebijakan terkait penanganan Covid-19.

Dalam kesempatan yang sama, dosen Antropologi UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri, menyampaikan paparan terkait pendemi dan deglobalisasi pangan. Pandemi, terangnya, memperparah masalah kelaparan yang telah menjadi isu besar di berbagai negara di dunia sebelum pandemi, termasuk di Indonesia.

Meski demikian, krisis ini bisa menjadi titik balik dan membuka peluang deglobalisasi pangan. Di lingkup masyarakat sipil, paparnya, kelompok sosial penyintas dan resilien telah menumbuhkan bibit deglobalisasi dengan penguatan solidaritas, jejaring, dan kolektivitas lokal seperti kembali ke pangan lokal dan mengembangkan nested market.

Sementara itu, pemerintah menurutnya dapat merestrukturisasi industri pangan dengan mendukung dan mendorong pembentukan koperasi-koperasi produsen bahan pangan dan artisan pangan sehat, dan tidak menggunakan produk rekayasa genetik.

Penulis: Gloria
Foto: Detik.com

Artikel asli: https://ugm.ac.id/id/berita/19573-pandemi-covid-19-momentum-refleksi-kebijakan-perekonomian-nasional

Penyunting: Ryan Ariyanto

Restorasi Gambut Perlu Tempatkan Petani Sebagai Mitra

Pemulihan ekosistem gambut perlu menyentuh problem rumah tangga petani. Dalam aksi restorasi gambut petani harus ditempatan sebagai mitra utama.

Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr. Myrna Safitri, dalam Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan Dalam Transformasi Desa Gambut yang diselenggarakan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM bekerja sama dengan BRG, Jumat (19/8) secara daring.

Myrna menyampaikan  pemerintah telah mengembangkan program desa peduli gambut (DPG) sebagai salah satu bagian pengakomodasian partisipasi dan dukungan masyarakat dalam restorasi gambut. Program ini menghubungkan kawasan perdesaan dalam kesatuan hidrologis gambut. Hingga April 2020 terdapat 525 desa yang tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang diinisasi BRG.

Program ini mengedepankan partisipasi masyarakat dan memberikan alternatif pertanian tanpa bakar yang diharapkan mampu menigkatkan kesejahteraan masyarakat, mencegah kerusakan ekosistem gambut, dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian, nantinya dapat meningkatkan indeks desa membangun.

“Pemerintah telah memfasilitasi pembentukan kawasan perdesaan di DPG,”katanya.

Dia mengatakan masyarakat yang tinggal di kawasan lahan gambut telah sejak lama memanfaatkan lahan gambut sebagai sumber penghasilan utama. Persoalan muncul terkait adanya larangan pemerintah untuk tidak membakar lahan gambut saat membuka lahan baru. Guna menjawab persoalan itu, pemerintah membuka sekolah lapangan petani dan mengembangkan demplot pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) di kawasan gambut.

“Ada 276 desa/kelurahan yang mendapatkan kegiatan pengembangan inovasi lokal dan teknologi tepat guna pada 2019. Melibatkan 799 petani dan berhasil mengembangkan 265 demplot pertanian alami dan tanpa bakar,”paparnya.

Lahan gambut menyimpan potensi besar baik untuk saat ini maupun masa depan. Oleh sebab itu, Myrna menekankan pentingnya harmoni dengn lahan gambut berbasis spiritual ekonomi yang tidak melanggar ekosistem gambut.  Karenanya penting meningkatkan daya dukung, pengembangan kebudayaan pertanian yang adaptif dan inovatif. Menghargai kreativitas lokal pada anak muda dan perempuan menuju ekonomi sirkular berbasis lansekap ekosistem gambut.

Sementara Dosen FEB UGM, Dr. Revrisond Baswir,  memandang BRG perlu mengambil langkah lebih tegas dalam melaksanakan reformasi agraria lahan gambut dan mengembangkan Bumdes. Dengan demikian diharapkan proses ekonomi kerakyatan dapat berlangsung dengan baik.

Peneliti Mubyarto Institute sekaligus peneliti PUSTEK UGM, Awan Santosa, S.E., M.Sc., menyampaikan pengembangan model inkubator ekonomi kerakyatan di desa-desa sekitar hutan yang bisa diterapkan seperti  model jejaring ekonomi desa dan  model dorongan koperasi desa.  Dalam pengembangan inkubator ekonomi kerakyatan di desa-desa sekitar hutan berdasar tiga pilar yakni model intelektual, modal material, dan modal institusional.

Model intelektual untuk membangun manusia seperti sekolah pasar, sekolah buruh, sekolah hijau, sekolah koperasi gula klapa, sekolah desa mandiri, sekolah nelayan, serta sekolah tani, sekolah sagu, dan sekolah kopi. Sedangkan modal institusional untuk membangun kelembagaan baik manajemen, jejaring, nilai-nilai, budaya, kearifan lokal serta musyawarah. Modal  material meliputi kapital finansial, infrastruktur pasar, teknologi produksi-infromasi, dan tanah, lahan, air, serta hutan.

Bupati Hulu Sungai Utara, Drs. H.Abdul Wahid HK., M.M., M.Si., dalam kesempatan itu memaparkan tentang pengembangan desa peduli gambut yang berada di wilayahnya. Kabupatennya memiliki lahan gambut dengan luasaan 25.672 hektare. Dari luasan tersebut, 6.273 hektare menjadi prioritas restorasi gambut berkanal atau zona budi daya yang dimaksimalkan melalui pengembangan desa peduli gambut yang berada di 4 kecamatan. Daerah-daerah tersebut bergerak di sektor perikanan, pertanian, dan kerajinan.

“Daerah kami secara keseluruhan mengemban misi ekonomi kerakyatan. Dengan kesungguhan masyarakat kami yakin tingkat kesejahteraan bisa dinikmati secara bertahap,” jelasnya.

Dia mengatakan pihaknya terus berupaya hadir dalam ekonomi kerakyatan. Misalnya, memberikan dukungan nyata kepada masyarakat dengan memberikan kemudahan  dalam menjual hasil produksi melalui pasar kerajinan, pasar hasil pangan dan lainnya.

Penulis: Ika
Foto: 8villages.com
sumber asli: https://ugm.ac.id/id/berita/19590-restorasi-gambut-perlu-tempatkan-petani-sebagai-mitra?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

Daftar publikasi seminar:

Materi Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan Dalam Transformasi Desa Gambut

Policy Brief Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan Dalam Transformasi Desa Gambut

Rekaman Seminar Nasional Ekonomi Kerakyatan Dalam Transformasi Desa Gambut

CALL FOR PRESENTATION : Kajian Jumat kedua (KJ2)  atau  Kajian Jumat keempat (KJ4)

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PusteK) Universitas Gadjah Mada mengundang Anda mahasiswa S2/S3 UGM untuk mempresentasikan temuan sementara atau simpulan hasil penelitian tesis/disertasi dalam forum kajian rutin PusteK UGM yaitu :

Kajian Jumat kedua (KJ2)  atau  Kajian Jumat keempat (KJ4)

dilaksanakan pada Jumat kedua dan Jumat keempat setiap bulan

pukul 13.30-16.00 WIB bertempat di “Bilik Mubyarto”

PusteK-UGM, Jalan Mahoni B-2, Kampus Bulaksumur.

Jika penelitian tesis/disertasi Anda bertemakan (atau bertautan-nuansa dengan) tajuk-tajuk di bawah ini, daftarkan untuk Anda presentasikan dalam KJ2 atau KJ4.

Tajuk-tajuk Kajian PusteK-UGM:

  1. Pelecehan Ekonomiah
  2. Nestapa Kaum Pekerja
  3. Pengacuhan Kalangan Terpinggirkan
  4. Pengabaian dan Pemihakan Rakyat Kecil
  5. Layanan Publik dan Pemuslihatan Anggaran
  6. Kesewenangan Kekuasaan dan Keangkuhan Elite
  7. Keganasan Industrial dan Denasionalisasi Ekonomi
  8. Penguatan serta Pemajuan Usaha Kecil dan Mikro
  9. Keteladanan Sosok “Satria Piningit”
  10. Pergulatan Pengembangan Kawasan
  11. Kawasan tertinggal
  12. Kawasan kumuh di kota
  13. Kawasan perbatasan
  14. Kawasan pesisir perairan

Presentasi karya akademis Anda memperluas cakrawala audiens. Tanggapan dan ulasan kritis audiens akan  memperdalam analisis dan meningkatkan kearifan-akademis Anda.

Untuk pendaftaran hubungi:

Dewi (PusteK-UGM):  0274-555664

Laman:  www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id

Surel:  ekonomikerakyatan@ugm.ac.id

Let’s share academically!

Indonesia Merdeka

Merebut Kemerdekaan

Prof. Dr. Mubyarto (editor)

Dua tahun sebelum “Indonesia Menggugat” yang merupakan pembelaan Ir. Soekarno di Pengadilan Bandung (1930), Mohammad Hatta, mahasiswa Indonesia yang memimpin Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereniging), yang masih berusi 26 tahun, membuat pidato pembelaan juga di penjara seperti Soekarno. Pidato Hatta tidak sekedar menggugat kekejaman pemerintah penjajah Belanda di Indonesia tetapi lebih tegas lagi menuntut “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij) yang menjadi judul pidato pembelaannya. (more…)

Meneruskan Kembali Pemikiran Mubyarto

Konsep ekonomi kerakyatan yang digagas Prof. Mubyarto kini nyaris tidak pernah terdengar lagi. Ditambah lagi dengan sistem ekonomi yang dijalankan Indonesia saat ini lebih pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Wakil Menteri Perdagangan RI, Dr. Bayu Krisnamurthi menyebutkan bahwa sangat penting untuk meneruskan kembali pemikiran Mubyarto dalam mewujudkan demokrasi ekonomi Indonesia ditengah carut-marut kondisi perekonomian Indonesia saat ini.

Menurutnya, pemikiran Mubyarto tentang ekonomi kerakyatan dapat meminimalisir terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial di masyarakat dan mewujudkan kemerataan sosial.

“Untuk itu penting membawa berbagai pemikiran mengenai konsep ekonomi kerakyatan sampai ke pemerintah. Jangan hanya berhenti pada tataran diskusi saja namun samapai ke  tahap implementasi. Yang didiskusikan ini bisa tercermin dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan,” tuturnya, Kamis (30/5) dalam Sarasehan “Meneruskan Jejak Pemikiran Mubyarto dalam Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia” yang digelar oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Yayasan Mubyarto di Fakultas ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.

Lebih lanjut Bayu mengatakan bahwa  perekonomian Indonesia saat ini justru tidak melibatkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Aktivitas ekonomi hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat saja. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep ekonomi kerakyatan yang digagas Mubyarto yang semestinya kegiatan perekonomian melibatkan sebagian besar masyarakat, bukan hanya segelintir orang saja yang notabene berasal dari lapisan ekonomi atas.

“Dari kelompok  inilah, kelas konsumen dengan pengeluaran minimal 20 juta per bulan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini mencapai 3,5 persen. Sekitar 50 juta orang yang ada pada lapisan ini, dari total penduduk Indonesia yang hampir 230 juta orang. Jadi hanya sebagian kecil masyarakat yang dilibatkan,” jelasnya.

Hal senada disampaikan Rektor UII, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Sc. Ia menyebutkan konsep ekonomi kerakyatan saat ini tidak terimplementasikan dengan baik di Indonesia. Pasalnya, dalam kegiatan ekonomi yang berjalan saat ini tidak melibatkan sebagian besar masyarakat mulai dari proses distribusi hingga konsumsi. Yang terjadi justru hanya melibatkan sebagian kecil   lapisan masyarkat . “Kenyataannya pertumbuhan ekonomi kita saat ini hanya ditopang segelintir orang  saja. Kalau hal ini terus berlanjut substansi ekonomi kerakyatan bisa hilang,” katanya.

Edy juga menyampaikan bahwa terminologi ekonomi kerakyatan saat ini hanya dijadikan sebagai jargon jualan politik. Konsep ekonomi kerakyatan hanya muncul ketika masa kampanye politik dimulai dan terlupakan ketika telah terpilih. “Dalam dunia politik konsep ekonomi kerakyataan hanya sebagai jargon saja, tidak implementatif,” terangnya.

Dr. Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., staf pengajar FEB UGM dalam kesempatan itu lebih banyak menyorot tentang peran pasar tradisional terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Menurutnya, pasar tradisional berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Pasar tradisional tidak hanya  memberikan kebebasan kepada para pelakunya, akan tetapi juga memberikan sejumlah makan ekonomi. Misalnya efisiensi, pengurangan biay atransaksi, dan jaminan kualitas produk.

“Baik penjual, pembeli, petugas keamanan maupun aparat pemerintah yang bertugas di pasar tradisional menjalin sebuah kekerabatan sosial yang menjadi warna dari struktur sosial pasar tradisional. Oleh sebab itu pasar tradisional memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan maysrakat,” urainya.

Kekerabatan sosial yang terjadi di pasar tradisional akan menstimulasi hubungan bisnis yang berlangsung lama dan memiliki potensi untuk pengembangan usaha. Produktivitas masyarakat, naik penjual maupun pembeli akan meningkat. Kondisi tersebut pada akhirnya memacu peningkatan aktivitas produksi dari masing-masing pihak. “Disinilah peran pasr tradisional terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu tidak ada alasan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk tidak memprioritaskan pengembangan pasar tradisional di suatu wilayah,” ujar Poppy.

Ditambahkannya, pengembangan juga harus dilakukan pada pasar tradisional yang tidak mempunyai keunikan dengan memaknai pasar tradisional sebagai sebuah institusi ekonomi.  Pasar tidak hanya sebagai tempat bertansaksi, tetapi juga sebagai tempat berinteraksi, ruang bagi masyarakat lokal menumpahkan segala ekspresi sosial dan ekonominya. “Pasar tradisional tidak hanya cerminan dinamika ekonomi, namun realitas sosial masyarakat kita,”tuturnya. (Humas UGM/Ika)

 

Sumber: Meneruskan Kembali Pemikiran Mubyarto

Penyunting: Ryan Ariyanto