Arsip:

Highlight

Ekonom UGM Nilai Kinerja Ekonomi Kabinet Merah Putih Belum Terlihat

Ekonom UGM Dr. Dumairy mengatakan masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet sekarang ini tidak seluruhnya program kerja baru. Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja turunan dari kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. “Tidak gampang (untuk menjalankan program turunan) karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM bertajuk “Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru” di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU), Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (31/1).

Soal target pembangunan ekonomi tahun 2025 yang digadang-gadang akan menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Bahkan tingkat pengangguran ditargetkan akan menurun dan indeks modal manusia akan meningkat. Dumairy menilai target pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan merata maka target tersebut akan tercapai. “Prioritas pembangunan ekonomi harus disertai dengan pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi sekarang menunjukkan bahwa prioritas pertumbuhan kurang konstitusional,” ujar Dumairy.

Dumairy mengusulkan agar pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengedepankan semangat keindonesiaan, pemerintah dapat menata ulang kepemilikan penguasaan sumber daya ekonomi, seperti tambang dan lahan. Selain itu, skema hilirisasi dapat dibuat lebih merakyat sehingga masyarakat juga dapat turut menikmati hasilnya. “Masyarakat harus mendapatkan manfaatnya,” katanya.

Sementara Sosiolog politik UGM Dr. Arie Sujito menyoroti tentang masalah kinerja BPJS belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Oleh karena itu diperlukan reformasi dalam sistem pelayanan kesehatan untuk mengatasi ketidakadilan dalam klaim dan memastikan manajemen yang lebih efisien. “Jangan sampai ada ketidakadilan dalam sistem pelayanan kesehatan,” ujar Arie.

Selain itu, Arie juga menyoroti masih tingginya biaya pendidikan membuat akses masyarakat terhadap pendidikan semakin sulit, dan alokasi anggaran yang tidak memadai hanya memperparah situasi pembangunan SDM di tanah air. Kampus sebagai institusi pendidikan seharusnya difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, bukan pada proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, seperti terlibat dalam pertambangan. “Demokratisasi pendidikan yang berlebihan membuat jebakan pertarungan antar kampus gara-gara tambang nantinya,” katanya.

Namun, Arie masih percaya bahwa situasi ini dapat dikendalikan apabila masyarakat, terutama mahasiswa, berkonsolidasi untuk melakukan perubahan. Apabila masyarakat cepat puas dengan keadaan yang ada, transformasi ekonomi dan demokrasi politik akan sulit terjadi. Sebaliknya, suatu pergerakan mahasiswa dengan proses konsolidasi yang kuat akan mendorong transformasi demokrasi, seperti saat mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pembatalan PPN 12%. “Saya percaya mahasiswa bisa menjadi agen-agen yang potensial dalam mendukung transformasi demokrasi,” pungkasnya.

Sumber: https://ugm.ac.id/id/berita/ekonom-ugm-nilai-kinerja-ekonomi-kabinet-merah-putih-belum-terlihat/

Polemik Kebijakan Baru LPG 3 Kg Ini Tanggapan Peneliti Senior PUSEKRA UGM Fahmy Radhi

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru terkait distribusi gas LPG 3 kg bersubsidi, yang kini tidak lagi dijual melalui pengecer atau warung-warung kecil, melainkan langsung melalui pangkalan resmi. Kebijakan ini memungkinkan siapa saja untuk membuka pangkalan gas 3 kg dengan mendaftarkan usaha mereka melalui situs resmi OSS (Online Single Submission).

Menurut pengamat ekonomi energi dan peneliti senior Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) UGM, Fahmy Radhi, kebijakan ini justru berpotensi mempersulit masyarakat miskin yang bergantung pada pengecer untuk mendapatkan gas bersubsidi dengan mudah dan dekat dari rumah.

Selama ini, warga miskin dapat membeli gas 3 kg di warung-warung kecil atau pengecer di lingkungan mereka, yang sering kali buka 24 jam dan dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharuskan pergi ke pangkalan resmi yang terpusat dan hanya buka pada jam tertentu, memicu kekhawatiran akan terjadinya antrian panjang.

(more…)

Diskusi Teras Pusekra UGM #1 : Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terus bersikap konsisten sejak awal mula didirikan hingga saat ini untuk mewujudkan misinya mengembangkan situasi politik dan ekonomi yang demokratis di Indonesia. Kondisi bangsa saat ini banyak menghadapi tantangan, terbukti dari dinamika politik yang cenderung ditentukan oleh lingkaran elit dalam jumlah kecil, serta manfaat pertumbuhan ekonomi yang belum merata.

Bung Hatta mengatakan: “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan tidak ada.” Dalam konteks pemerintahan baru yang telah berjalan saat ini, masyarakat perlu memahami prospek dan tantangannya ke depan agar dapat menghasilkan partisipasi yang konstruktif dan signifikan.

Mari diskusi bersama memprediksi masa depan ekonomi dan politik Indonesia di bawah pemerintahan baru. Jangan lewatkan diskusi yang inspiratif ini! 🌟

🎙️ Diskusi Teras PUSEKRA UGM
🔍 Topik: Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru
🗓️ Hari/Tanggal: Jumat, 31 Januari 2025
⏰ Waktu: 13.30 – 15.30 WIB
📍 Lokasi: Gedung PAU UGM, Barek, Yogyakarta

Bersama:
✨ Dr. Dumairy, M.A. – Peneliti Senior PUSEKRA UGM (Pemateri)
✨ Dr. Arie Sudjito, S.Sos., M.Si. – Wakil Rektor UGM (Pemateri)
✨ Dr. Rachmawan Budiarto – Plt. Kepala PUSEKRA UGM (Moderator)

🎟️ Daftar sekarang melalui tautan berikut:
https://s.id/DiskusiTerasPUSEKRA01

Info lebih lanjut:
🌐 www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id

#DiskusiTerasPUSEKRA #PUSEKRAUGM #DemokrasiEkonomi #UGM #EkonomiKerakyatan

Lahirnya Ekonomi Pancasila

The subject of the economy goes beyond the province of economics. Today the subject should be studied through the lens of all great ideas. Moral, social, political, and cultural ideas….They should become a basis for understanding the market from a human perspective.

Pendahuluan

Ilmu ekonomi (Klasik) lahir tahun 1776 dengan terbitnya buku Adam Smith “Wealth of Nations”. Meskipun demikian, ilmu ekonomi yang sekarang diajarkan melalui buku-buku teks ekonomi sebenarnya adalah ilmu ekonomi Neoklasik yang lahir 1 abad kemudian (1890) melalui penerbitan Principles of Economics oleh Alfred Marshall. Pada tahun 1936 J.M. Keynes melalui penerbitan buku The General Theory (of Employment, Interest, and Money), “memproklamasikan” lahirnya ilmu ekonomi modern. Dalam buku ini semua teori Klasik-Neoklasik yang dianggap benar selama 150 tahun dinyatakan “masuk kotak”, karena penerapannya terlalu khusus. Teori Keynes yang berlaku umum (General Theory) bisa dipakai menganalisis kondisi ekonomi suatu negara yang dalam keadaan kesempatan kerja penuh (full employment) maupun keadaan yang kurang dari kesempatan kerja penuh (less than full employment).

Namun perkembangan teori atau ilmu ekonomi selama pertengahan dan akhir abad 20 cukup aneh, karena “revolusi Keynes” ternyata hanya berjalan relatif singkat. Ajaran mendasar teori ekonomi Neoklasik tentang kebebasan pasar tetapi dengan campur tangan pemerintah dalam perekonomian yang makin kecil (liberalisasi dan privatisasi), kembali menguat melalui “Konsensus Washington” (1989) dan kebangkrutan paham sosialisme/komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur tahun-tahun 1989-91. 

Economics,….has had only one acknowledged revolutionary episode in the last century, the Keynesian revolution during the 1930s. Yet at the end of the 20th century, the dominant school of thought in economics retains almost nothing from the revolution, and in fact appears to be a direct descendant of pre-Keynesian neoclassical economics.

Di Indonesia, pemerintah Orde Lama (1959-66) menerapkan sistem ekonomi komando yang kemudian digantikan secara radikal dengan ajaran demokrasi ekonomi ketika rezim Orde Lama runtuh diganti rezim Orde Baru (1966). Namun ajaran “ekonomi pasar” ini sejak anjlognya (kembali) harga minyak dunia (1982), kemudian kebablasan menjadi “ke-Barat-Baratan” dengan diterapkannya kebijakan liberalisasi atau deregulasi tahun 1983 sampai akhir tahun delapanpuluhan. Inilah periode ekonomi konglomerasi (1987-94) yang menghasilkan “keajaiban ekonomi” (miracle economy), ketika oleh Bank Dunia Indonesia dimasukkan sebagai salah satu dari 8 negara yang berekonomi “ajaib” bersama Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, Thailand dan Malaysia.

The eight economies have much in common….Their most obvious common characteristic is their high average of economic growth. During the same period, income inequality has declined. These two outcomes ― rapid growth and reduced inequality ― are the defining characteristics of what has come to be known as the East Asian economic miracle.

Bahwa Indonesia yang ekonominya “ajaib” (1993), tetapi 4 tahun kemudian “dihancurkan” krisis moneter (krismon 1997), menunjukkan kekeliruan fatal teori ekonomi konvensional. Tidak mungkin satu ekonomi dengan fundamental ekonomi yang baik dan sehat dapat hancur (collapse) dalam waktu sangat cepat. Jelas bukan kebijakan ekonomi Indonesia yang salah, tetapi teori atau ilmu ekonominyalah yang harus diakui keliru.

The more people accept the neoclassical paradigm as a guide for their behavior, the more the ability to sustain a market economy is undermined.

Ilmu ekonomi Pancasila lahir bersamaan dengan keyakinan adanya kekeliruan fatal ilmu ekonomi konvensional. Khusus bagi Indonesia adanya kebingungan pakar-pakar ekonomi untuk menerangkan fenomena ekonomi Indonesia sejak krismon sampai sekarang (2005) adalah bukti telah munculnya iklim/situasi lahirnya ilmu ekonomi Indonesia baru yaitu ekonomi Pancasila.

Ekonomi sebagai Ilmu

(For economics teachers)…… a feeling for the significance and the background of the discipline was even more important than the acquisition of specific analytical techniques.

Ilmu ekonomi dapat dikembangkan menjadi salah satu atau gabungan dari cabang-cabang ilmu berikut:

  1. Ekonomi sebagai Ilmu Sosial (Social Science).
  2. Ekonomi sebagai Ilmu Ekologi (Ecological Science).
  3. Ekonomi sebagai Ilmu Perilaku (Behavioral Science).
  4. Ekonomi sebagai Ilmu Politik (Political Science).
  5. Ekonomi sebagai Ilmu Matematika (Mathematical Science).
  6. Ekonomi sebagai Ilmu Moral (Moral Science).

Pembagian oleh Kenneth Boulding ini diuraikan dengan sangat baik dalam buku kecil dengan judul di atas, Economics as A Science. Boulding, Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Boulder yang pernah menjadi Presiden Persatuan Ekonomi Amerika (American Economic Association) tahun 1968, dalam buku ini menunjukkan keprihatinan mendalam tentang perkembangan ilmu ekonomi di Amerika yang menjadi terlalu spesialistis dan cenderung dijadikan sekedar alat analisis, teknik berpikir, dan kelak bahkan menjadi “ideologi”. Maka pada akhir bukunya Boulding mengeluh:

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the “trained incapacity” which Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very high price.

Kalau kini kita menyaksikan “kegenitan” pakar-pakar ekonomi konvensional kita, yang begitu percaya pada model ekonometri CGE (Computable General Equilibrium), dan menggunakan hasil-hasil perhitungannya untuk menasehati pemerintah “SBY-JK” agar tidak ragu-ragu menaikkan harga BBM 1 Maret lalu, tentu rakyat berhak mempertanyakan manfaat “kepakaran ekonomi” ilmuwan-ilmuwan muda kita ini bagi kemaslahatan bangsa. Memang separo kesalahan menjadi tanggungjawab pemerintah, yang rupanya begitu percaya pada kepakaran ekonomi ilmuwan-ilmuwan muda dari LPEM-UI tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla tanpa penjelasan apapun menolak dengan tegas kesimpulan lain (dari BPS dan IPB) yang bertentangan dengan hasil-hasil perhitungan LPEM-UI. “Ah itu salah, yang betul adalah penelitian yang dilakukan FE-UI”.

Inilah akibat ilmu ekonomi yang sudah menjelma menjadi ilmu ekonomi matematik, yang melihat kemiskinan di Indonesia sekedar sebagai angka-angka, bukan sebagai manusia yang “menangis dan menderita akibat kenaikan harga BBM”. Maka untuk itulah PUSTEP-UGM menawarkan paradigma atau cara baru melihat ilmu ekonomi Indonesia. Dan dengan mengutip buku kecil Kenneth Boulding di atas, diingatkan betapa pakar-pakar ekonomi konvensional telah keblinger, yaitu mengembangkan ilmu ekonomi Neoklasik dari Amerika sebagai ilmu matematika, padahal yang benar, ilmu ekonomi ini bercabang ke-6 jurusan yaitu, di samping matematika, juga ilmu-ilmu sosial, ekologi, perilaku, politik dan moral. Tidak ada jalan lain, kita harus “berbalik arah”, yaitu tidak membiarkan diri kebablasan mengembangkan ilmu ekonomi secara monodisipliner ala Amerika, tetapi secara multidisipliner dan transdisipliner, dan kemungkinan sangat besar harus secara non-disipliner.

Keharusan mempelajari dan memahami masalah-masalah bangsa dengan pendekatan interdisipliner atau transdisipliner dijelaskan dengan sangat baik oleh seorang ekonom pertanian muda dari Australia David Penny. Pada tahun-tahun empatpuluhan, David muda yang baru memperoleh Ph.D ekonomi pertanian dari Universitas Cornell di Amerika, diminta membantu mengajar penyuluhan pertanian di IPB. Karena ilmu yang dikuasainya adalah ekonomi pertanian (agricultural economics), maka ketika ditanya Profesor Sajogyo (waktu itu Kampto Oetomo) peralatan ilmu apa yang akan dipakai dalam mengajar penyuluhan pertanian, David dengan penuh percaya diri menjawab ilmu ekonomi. Sesudah beberapa tahun lewat, David heran betapa sulit mahasiswa menangkap isi kuliah-kuliah yang diberikannya, dan betapa sulit baginya memahami cara berpikir dan bertindak petani Indonesia. David kemudian sadar telah mengabaikan peringatan halus dari Prof. Sajogyo ketika untuk pertama kali bertemu.

Jika anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami. 

Jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami.

Kiranya jelas dari kasus ini bahwa setiap masalah sosial tidak mungkin didekati secara monodisiplin karena di dalam setiap masalah selalu ada berbagai faktor yang bekerja serentak. Dan ilmu ekonomi yang semakin menjauhkan diri dari sumbernya yaitu ilmu sosial, pasti menghadapi kesulitan. Nasehat-nasehat pakar ekonomi yang terlalu spesialistis (monodisiplin) tidak akan realistis, lebih-lebih jika analisis-analisisnya makin banyak menggunakan matematika.

Gunnar Myrdal seorang pakar ekonomi Swedia, pemenang Nobel ekonomi tahun 1974, sejak sangat awal (1956) sudah memberikan kritik keras terhadap teori ekonomi Barat yang tidak cocok untuk negara-negara berkembang.

This new orientation of economic theory towards greater realism in regard to existing economic inequalities will imply the final liquidation of the old laissez-faire predilections and, more specifically, 

the free trade doctrine and the stable equilibrium approach. Also, the distinction between “economic factors” and “non-economic factors” will likewise have to be discarded as illogical and, consequently, misleading. Economic analysis will have to deal with all the relevant factors if it wants to be realistic; general economic theory will have to become social theory.

In the main, economic theory has not so far concerned itself with the problems of under-developed countries. If nevertheles it is uncritically applied to these problems, the theory becomes wrong.

Kelemahan Teori Ekonomi Konvensional

Surat Kabar Kompas selama 4 hari (16-19 Maret) memuat “perdebatan akademik” antara pakar-pakar ekonomi Neoklasik konvensional (Moh. Ikhsan & Chatib Basri) dan pakar ekonomi “kelembagaan” dari IPB dan Tim Indonesia Bangkit (Rina Oktaviana & Imam Sugema). Perbedaan dari 2 “mazhab pemikiran” ini adalah, yang pertama mementingkan ukuran efisiensi ekonomi semata, sedangkan yang kedua juga mempertimbangkan asas keadilan dan pemerataan. Masalah ekonomi yang dijadikan “dadakan” diadakannya perdebatan kebetulan menyangkut kepentingan rakyat banyak yaitu keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 29% tanggal 1 Maret 2005.

Dengan menggunakan model ekonometri untuk menghitung dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan, Tim A (MI & CB) menyimpulkan kemiskinan akan berkurang 2% setelah dana kompensasi disalurkan, sedangkan menurut Tim B (RO & IS) angka kemiskinan justru akan bertambah 2%. Implikasi kedua tim bagi kebijaksanaan kenaikan harga BBM bertolak belakang. Yang pertama setuju atau mendukung, sedangkan yang kedua menolak kenaikan harga BBM. Bahwa model ekonomi yang sama menghasilkan angka taksiran yang bertolak-belakang, menunjukkan salah satu kelemahan serius teori ekonomi konvensional (Neoklasik) yang matematis.

Kelemahan lain dari teori ekonomi konvensional adalah kemungkinan diperolehnya angka-angka hasil perhitungan yang jauh menyimpang dari “realita” karena tidak dimasukkannya variabel-variabel bukan ekonomi, padahal faktor-faktor ini dalam praktek terbukti besar peranannya. Di samping variabel keadilan, juga ada faktor-faktor politik dan psikologi yang ternyata dapat berperanan besar. Misalnya, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga minyak tanah agar rakyat kecil tidak dirugikan, ternyata tidak mencapai tujuan baiknya,  karena minyak tanah hilang dari pasar, dan harganya melonjak, sehingga tetap saja memukul rakyat kecil.

Demikian karena penerapan teori ekonomi yang tidak mencapai hasil yang diharapkan inilah, maka masuk akal jika ada kebutuhan riil akan teori/ilmu ekonomi Indonesia baru, yaitu ilmu ekonomi yang benar-benar dapat diandalkan sebagai pisau analisis masalah-masalah ekonomi khas Indonesia. Teori ekonomi Pancasila adalah teori ekonomi khas Indonesia yang “model” dan penerapannya selalu bersifat multidisipliner dan sekaligus transdisipliner. Teori ekonomi Pancasila tidak menggunakan asumsi-asumsi ceteris paribus, tetapi memasukkan semua variabel yang benar-benar harus dipertimbangkan. Jika Pancasila mengandung 5 asas, maka semua sila Pancasila yaitu (1) etika, (2) kemanusiaan, (3) nasionalisme, (4) kerakyatan/demokrasi, dan (5) keadilan sosial, harus dipertimbangkan dalam model ekonomi yang disusun. Jika di samping Pancasila juga selalu disebutkan asas kekeluargaan dan kemasyarakatan sebagaimana dikandung dalam pasal 33 UUD 1945, maka menjadi lengkaplah “model” ekonomi Pancasila, yaitu model ekonomi “holistik” yang tidak memisahkan masalah ekonomi dari masalah sosial, masalah budaya, masalah moral/etik, dll. Yang ada adalah masalah, yang dihadapi manusia Indonesia, tidak perlu diurai menjadi masalah-masalah yang sangat terpisah-pisah, yang untuk menganalisis masing-masing diperlukan disiplin ilmu sendiri.

Ekonomi Pancasila sebenarnya mengacu pada ajaran asli Ilmu Ekonomi Adam Smith (1723-1790) yaitu ilmu ekonomi yang tidak dilepaskan dari kaitan faktor-faktor etika dan moral. Smith dalam buku pertamanya tahun 1759 (The Theory of Moral Sentiments) menyatakan bahwa manusia adalah homo socius dan homo ethicus. Baru pada buku keduanya disebut bahwa manusia adalah homo economicus.

Smith did not try to develop a science of economics free of moral judgements or ethical considerations….But his science of political economy was not a moralistic science: he tried to bring about improvement not through preaching but through designing institutions which would strengthen the incentive to act in a socially beneficial manner.

Kalau pakar-pakar ekonomi konvensional masa sekarang menggambarkan ajaran Adam Smith sebagai “liberal” dan “individualistik”, sebabnya adalah karena ajaran kelembagaannya yang dikembangkan dalam TMS (1959) diabaikan, dan yang dikutip dari tulisan-tulisan Adam Smith justru yang lebih menonjolkan kecintaan-diri (self-love) manusia yang kebablasan.

It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker, 

that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.

Demikianlah ilmu ekonomi Pancasila adalah ilmu ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara, yang ke-5 silanya, secara utuh maupun sendiri-sendiri, menjadi rujukan setiap pelaku ekonomi orang Indonesia.

Ilmu Ekonomi telah Mati

Sekarang makin banyak Perguruan Tinggi, negeri maupun swasta, yang fakultas ekonominya hanya mempunyai jurusan Manajemen dan Akuntansi. Apa artinya? Artinya adalah bahwa ilmu ekonomi sesungguhnya sudah mati, dan masalah-masalah ekonomi masyarakat telah direduksi menjadi masalah manajemen dan hitung-hitungan (akuntansi) untung rugi saja seperti halnya perusahaan. Apakah orang menyadari kejanggalan ini? Sama sekali tidak. Kini di kalangan murid-murid SMA banyak yang mengira jika kelak mereka melanjutkan studi ke fakultas ekonomi di perguruan tinggi, pilihan jurusan yang mereka hadapi hanya salah satu dari dua yaitu Manajemen atau Akuntansi.

Tentu kita bertanya mengapa terjadi perkembangan yang aneh ini? Apakah di negara-negara berkembang lain seperti Malaysia atau Filipina juga demikian? Ya, harus diakui, kita telah “kecolongan” habis-habisan karena sangat kuatnya “imperialisme” ajaran ekonomi kapitalis liberal dari Barat khususnya Amerika. Di Amerika sekarang sudah banyak jurusan (department) ekonomi yang sekedar merupakan cabang (spesialisasi) dari School of Business (Fakultas Bisnis). Artinya, “ilmu” yang lebih “terhormat” di sana adalah ilmu bisnis yaitu ilmu mencari keuntungan sebesar-besarnya dari perusahaan, sedangkan ilmu ekonomi yang merupakan cabang ilmu sosial, dan yang masih ada kaitan dengan ajaran-ajaran moral, hanya merupakan salah satu spesialisasi saja yang relatif “kurang terhormat” dan tidak terlalu dianjurkan untuk dipilih. Memang dalam kurikulum sekolah-sekolah bisnis lalu dikenalkan kuliah-kuliah etika bisnis (business ethics), tetapi peranannya tidak pernah terlalu penting.

Fakultas Ekonomi UGM ketika lahir tahun 1955, setengah abad lalu, mempunyai 4 jurusan yaitu jurusan-jurusan ekonomi agrariaekonomi sosiologiekonomi kenegaraan, dan ekonomi perusahaan. Apakah tidak ada perasaan “dosa” mengapa kini jurusan yang ditawarkan menjadi sangat sempit sehingga sekedar meniru spesialisasi yang berkembang di Amerika, bukan spesialisasi yang berorientasi pada masalah-masalah ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia seperti masalah kemiskinan dan kenyataan ketidakberdayaan ekonomi rakyat?

Pada tahun 1994 terbit buku “Matinya Ilmu Ekonomi” (The Death of Economics, Paul Ormerod), kemudian disusul Debunking Economics (Menghilangkan Kepalsuan Ilmu Ekonomi) oleh Steve Keen dari Australia (2001). Apakah pakar-pakar ekonomi konvensional Indonesia menyadari, memperhatikan, dan mempelajari buku-buku ini? Sama sekali tidak. Mereka menganggap buku-buku ini “lelucon” semata-mata, padahal di negara-negara kapitalis jauh sebelumnya sudah dibahas masalah yang sama secara serius misalnya melalui pennerbitan buku Is Economics Relevant: Reader in Political Economics (Robert L. Heilbroner, 1971) dan What’s Wrong with Economics? (Benjamin Ward, 1972). Selanjutnya pemenang Nobel ekonomi 2001 Joseph Stiglitz, yang bulan Desember 2004 berceramah di Jakarta, dengan tandas mengkritik pakar-pakar ekonomi pemerintah yang terlalu mengandalkan pada nasehat-nasehat ekonomi IMF dan Bank Dunia. Sebelumnya, Stiglitz dengan tegas mengkritik pakar-pakar ekonomi negara-negara berkembang termasuk Rusia sesudah 1991, yang terlalu percaya pada ajaran buku-buku teks ekonomi untuk membuat kebijakan. Stiglitz menegaskan bahaya ajaran-ajaran ekonomi yang demikian jika dipakai untuk menyusun kebijakan.

Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government….since typical American style textbook relies so heavily on a particular intellectual tradition the neoclassical model.

Demikian upaya pengembangan ilmu ekonomi Pancasila jelas tidak mengada-ada, tetapi sungguh-sungguh merupakan “jalan keluar” untuk membebaskan diri dari “penjajahan paham ekonomi liberal” yang sudah sangat jauh menguasai kurikulum Fakultas-fakultas Ekonomi kita tanpa kita menyadarinya.

Rektor UGM dalam pidato Dies ke-55 tanggal 20 Desember 2004 mengingatkan kembali pesan Rektor pertama/pendiri UGM Prof. Sardjito, agar dosen-dosen ekonomi “berhati-hati” dalam mengajarkan ilmu ekonomi.

….bila Taman Siswa membuka Fakultas Ekonomi, seyogyanya Majelis Luhur Taman Siswa, mengajukan pertanyaan kepada dosen-dosenya, bagaimana mengetrapkan Pancasila di mata pelajaran Ekonomi. Bila pertanyaan ini tidak diindahkan, mungkin dapat kejadian kapitalistik ekonomi masuk di Taman Siswa.

Pesan Prof. Sardjito ini dikemukakan tahun 1969 ketika Fakultas Ekonomi UGM sendiri sedang mengembangkan afiliasi dengan Fakultas-fakultas Ekonomi Amerika yaitu Universitas California di Berkeley dan Universitas Wisconsin di Madison. Di samping banyak dosen-dosen Amerika datang mengajar “ilmu ekonomi kapitalis” di Jakarta dan Yogyakarta, dosen-dosen muda UGM sendiri juga dikirim ke Amerika  untuk belajar pada tingkat studi S2 dan S3. Kekhawatiran Prof. Sardjito ternyata benar, FE-UGM pun, seperti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lain-lain, kemudian menjadi “pusat pendidikan ekonomi kapitalis”, yang jauh dari moral ekonomi Pancasila.

“Negara Dagang” dan Pancasila

Jika sekarang banyak orang mengeluh karena ada kesan kuat pemerintah “SBY-JK” lebih berpihak pada kepentingan pengusaha dan pedagang ketimbang kepentingan ekonomi rakyat, ternyata Adam Smith pun pada tahun 1776 sudah menguraikan (cikal bakal) pemikiran awalnya.

People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meetings, by any law which either could be executed, or would be consistent with liberty and justice. But though the law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together, it ought to do nothing to facilitate such assemblies; much less to render them necessary.

Melawan kecenderungan persekongkolan para pengusaha memang tidak mudah, lebih-lebih jika kelompok pengusaha dan pedagang secara langsung duduk dalam jabatan-jabatan kunci pemerintahan seperti halnya sekarang, yaitu dalam diri Wakil Presiden dan Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Hukum dan media massa perlu berperan aktif mengawasi tindak-tanduk pejabat-pejabat pemerintah dan mengadukan mereka jika menunjukkan tanda-tanda “bersekongkol” untuk melawan kepentingan umum. Contoh dalam hal ini sudah ada ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan membatalkan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang dianggap bertentangan dengan amanat pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan ayat 3. Di kemudian hari pakar-pakar ekonomi Pancasila harus selalu waspada mengawasi setiap kebijakan dan praktek usaha sehingga tidak membiarkannya melanggar UUD (konstitusi) kita. Prof. Sri-Edi Swasono dalam tulisannya “Neo Sontoloyo” di Republika (24 Maret 2005, hal 2) menggugat UU Migas No. 22/2001 yang konsiderannya keliru, yang berarti UU ini harus dianggap batal karena hukum.

Jika kini ekonomi banyak negara berkembang didominasi perusahaan-perusahaan multinasional yang didukung pemerintah negara-negara asal perusahaan-perusahaan itu, maka banyak cendekiawan negara-negara berkembang bekerja keras untuk melawannya, meskipun hampir selalu “tidak berdaya” dan “kalah perang”. Kekalahan demi kekalahan ini diterangkan oleh Samuel Huntington dengan tepat sebagai berikut:

The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted), but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non-Westerners never do.

Ketika untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi politik Indonesia seorang pengusaha besar ditunjuk sebagai Menko Perekonomian, orang berharap prospek perekonomian nasional akan lebih baik karena pengusaha pasti sangat memahami bagaimana caranya merangsang kegiatan berusaha mereka di Indonesia. Namun ternyata apa yang dikhawatirkan Adam Smith pada tahun 1776 benar-benar terjadi, yaitu “kepentingan pengusaha tidak pernah sama dengan kepentingan rakyat/masyarakat umum”. 

Laws and Government may be considered….as a combination of the rich to oppress the poor…..merchants and manufacturers are an order of (people), whose interest is never exactly the same with that of the public, who generally have an interest to deceive and even to oppress the public, and who accordingly have, upon many occasions, both deceived and oppressed it.

Demikian sangat sulit bagi masyarakat mengharapkan kepentingan ekonominya dilindungi pemerintah, kalau Kabinet dikuasai pemikiran-pemikiran pengusaha/pedagang. Dalam salah satu tajuk rencana, Harian Kompas memang mengingatkan bahaya besar persekongkolan yang demikian. Maka tidak mengherankan jika Kompas menulis “Betapa Menakutkan Kolaborasi Politisi dan Pengusaha” (16 Maret 2005).

Program Kuliah Ekonomi Pancasila

Program KEEP 2005 (Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila) dengan peminat yang jauh melebihi kapasitas, merupakan langkah besar melahirkan kader-kader pemikir ekonomi Indonesia yang Pancasilais, yaitu beretika atau berakhlak mulia, bersemangat kemanusiaan, nasionalistik, merakyat, dan berkeadilan sosial. Tentu saja pertemuan 42 jam selama 5 bulan bukan jaminan peserta KEEP akan otomatis menjadi ekonom-ekonom Pancasilais andalan. Kuliah-kuliah ini hanyalah satu bagian dari proses “revolusi cara berpikir” yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi penting yang dihadapi bangsa Indonesia. Para peserta harus bekerja keras dan secara sungguh-sungguh membaca buku-buku dan bahan-bahan bacaan lain yang sudah tersedia, dan pada waktu-waktu yang telah direncanakan terjun ke lapangan untuk mempelajari praktek-praktek berekonomi dari ekonomi rakyat kita. Selanjutnya harus dikembangkan semangat berdiskusi di antara peserta untuk membahas aneka isu masalah ekonomi bangsa seperti kontroversi kenaikan harga BBM yang disebut di atas. Kita berharap peserta terangsang semangatnya untuk menulis apa saja yang dianggap perlu untuk ditulis tentang ekonomi Pancasila.

Dalam program kuliah ini, ilmu ekonomi Pancasila dikembangkan dengan mendalami perilaku pelaku-pelaku ekonomi rakyat mencakup ke-5 sila Pancasila yaitu ilmu ekonomi sebagai ilmu ekonomi etik, ilmu ekonomi humanistik, ekonomi nasionalistik, demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial. Dalam pendalaman ini selalu diingat bahwa sila ke-1 dan ke-2 adalah dasar sistem ekonomi, sila ke-3 dan ke-4 adalah cara atau metode berperilaku dari pelaku-pelaku ekonomi, dalam mewujudkan tujuan berekonomi yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sangat menarik bahwa dari 110 peserta sebanyak 27 orang (24%) adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM sendiri, yang menyatakan tidak puas dengan materi-materi kuliah yang mereka terima selama ini, dan ada diantaranya yang menyatakan “menjadi bingung”. Ada yang tegas-tegas menginginkan diadakannya buku-buku dan ditawarkannya mata kuliah khusus ekonomi Pancasila di FE-UGM.

(1)    Saya merasa buta dengan kondisi bangsa saya sendiri karena setiap hari kami mendapat materi tentang ekonomi Barat. Dan saya bingung apakah hal itu tepat untuk bangsa kita. Dalam program ini saya ingin lebih memahami apa yang sedang terjadi di negara ini melalui kacamata ekonomi Pancasila yang seharusnya memang untuk bangsa Indonesia (Meirma Driyasari).

(2)    Melalui KEEP saya berharap untuk mengetahui apa dan bagaimana ekonomi Pancasila itu, karena meskipun kuliah di jurusan IESP, saya belum pernah mengetahui ekonomi Pancasila (Satria Ardhi).

(3)    Setelah mengerti dan memahami ekonomi Pancasila, saya ingin menyebarluaskan sisi positif ekonomi Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat yang dapat saya jangkau (anonim).

(4)    Mengikuti KEEP adalah sebagai langkah awal untuk mencapai keinginan saya menjadi seorang pejuang dan penulis ekonomi Pancasila dari bangsa dan negeri Indonesia (Chairul Wismoyo).

(5)    Sebagai mahasiswa ilmu sosial dan ilmu politik, sangat penting bagi saya untuk memahami sebab-sebab kemunduran bangsa Indonesia ditinjau dari berbagai dimensi. Kebangkrutan di berbagai bidang pertama kali dimulai dari masalah ekonomi yang kemudian merambat dan menyentuh berbagai bidang lainnya, termasuk dimensi kehidupan sosial dan politik (Ario Wicaksono).

Penutup

Jika ilmu ekonomi dianggap lahir tahun 1776 dengan penerbitan buku Adam Smith Wealth of Nations, dan ilmu ekonomi ortodoks-konvensional ini telah dianggap mati oleh Paul Ormerod melalui penerbitan bukunya The Death of Economics, maka di Indonesia ilmu ekonomi Pancasila kini telah lahir, yang ditandai dengan pembukaan Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) tanggal 26 Maret 2005. Suatu ilmu baru dianggap telah hadir dalam masyarakat jika orang/masyarakat percaya akan kemampuan ilmu baru itu untuk menjawab masalah/isu urgen yang dihadapi, atau dianggap mampu memberikan jalan keluar dari kebingungan pakar-pakar dan masyarakat. Bahwa di antara berbagai pendapat peserta KEEP 2005, ada yang tegas-tegas ingin menjadi “pejuang” dalam mempelajari, memahami, dan menyebarluaskan ilmu ekonomi Pancasila, patut dicatat.

Jika ada ungkapan “ilmu ekonomi adalah apa yang dikerjakan ekonom atau pakar-pakar ekonomi” (economics is what economists do), barangkali tidak keliru untuk menyatakan ilmu ekonomi konvensional di Indonesia memang benar-benar telah mati, karena apa yang dikerjakan dan dipikirkan ekonom Indonesia hampir selalu tidak sama, bahkan saling bertentangan. Kalau dalam kasus kenaikan harga BBM, ekonom pemerintah bertentangan pandangan dan nasehatnya dengan pandangan ekonom-ekonom lain yang berada di luar pemerintah, tentulah pakar-pakar ekonomi yang menjadi dosen (yang serius) di perguruan tinggi akan menghadapi kesulitan luar biasa ketika berargumentasi tentang kenaikan harga BBM dan dampaknya bagi masyarakat dengan mahasiswanya.

Kalau ilmu ekonomi konvensional dianggap ilmu positive yang bebas nilai, maka ilmu ekonomi Pancasila jelas menganut nilai-nilai tertentu yaitu nilai budaya bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila, yang merupakan ideologi atau dasar negara. Ilmu ekonomi Pancasila dijadikan pedoman arah pemikiran setiap pelaku elonomi di Indonesia, yang jika seluruh pelaku ekonomi benar-benar mematuhi penerapannya, maka tercapailah kemakmuran dan kesejahteraan semua orang, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terwujudnya cita-cita Pancasila tidak dengan sekedar mempelajari ilmu ekonomi Pancasila dan menerapkannya. Agar kepercayaan dan kepatuhan terhadap ajaran ekonomi Pancasila benar-benar terwujud dalam bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, diperlukan perjuangan tak kenal lelah. Ir. Soekarno mengakhiri pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, dengan pesan berikut:

Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, yakni jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionalitiet yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan…

Pada tahun 1977 dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila, Moh. Hatta yang menyusun pasal-pasal ekonomi UUD 1945 mengingatkan dengan keras: 

Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati UUD 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34.

Ilmu ekonomi Pancasila telah lahir. Agar ilmu baru ini dapat tumbuh menjadi besar, kuat, sehat, dan bermanfaat, sehingga dapat menjadi “lampu penerang” bagi kemajuan perekonomian Indonesia, ia harus dilindungi sekaligus diberi kesempatan berkembang secara bebas. Marilah kita semua, terutama ilmuwan-ilmuwan ekonomi muda, bekerja keras mengembangkan ilmu ini, demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih cerah. Ilmu ekonomi harus dijadikan ilmu terapan, ilmu yang penerapannya memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto — Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM – Publikasi tanggal 5 April 2005

 

Daftar Bacaan 

Allen, Tim & Alan Thomas, 2000, Poverty and Development into the 21st Century, United Kingdom, The Open University-Oxford University Press.

Boulding, Kenneth E., 1970, Economics As A Science, Bombay-New Delhi, India, Tata McGraw-Hill Publishing Co.

Bruyn, Severyn T., 2000, A Civil Economy: Transforming the Market in the 21st Century, Michigan, University of Michigan Press. 

Effendi, Sofian, “Revitalisasi Jati Diri Universitas Gadjah Mada Menghadapi Perubahan Global”, Orasi Ilmiah Dies Natalis UGM ke-55, 19 Desember 2004.

Etzioni, Amitai, 1988, The Moral Dimension: Toward A New Economics, New York, The Free Press.

Ha-Joon, Chang, (ed), 2001, Stiglitz and the World Bank: The Rebel Within, London, Anthem Press.

Hatta, Mohammad, Pengertian Pancasila, 1 Juni 1977.

Huntington, Samuel P., 1997, The Clash of civilization and The Remaking of World Order, India, Penguin Books.

Keen, Steve, 2001, Debunking Economics: The Naked Emperor of The Social Science, New York, Pluto Press Ltd.

Mubyarto (editor), 2004, Pancasila Dasar Negara, UGM, & Jati Diri Bangsa, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2003, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP UGM, Yogyakarta, PUSTEP-UGM.

___________, 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Gagasan Besar Ekonomi & Kemajuan Kemanusiaan, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Revolusi Menuju Sistem Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Belajar Ilmu Ekonomi, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Ekonomi Pasar Populis, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Ekonomi Pancasila: Evaluasi Dua Tahun PUSTEP-UGM, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2004, Teori Ekonomi dan Kemiskinan, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2005, Menggugat Sistem Pendidikan Nasional: Refleksi Pendidikan Akhir Tahun 2004, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

___________, 2005, Pusat Studi Non-Disipliner: Reformasi Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

Mubyarto & Awan Santosa, 2004, Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-Sekolah Lanjutan, Yogyakarta, PUSTEP-UGM & Aditya Media.

Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2003, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Muller, Jerry Z., 1993, Adam Smith in His Time and Ours, Princeton, Princeton University Press.

Myrdal, Gunnar, 1957, Economic Theory and Underdeveloped Regions, London, General Duckworth & Co.

Sajogyo, 2003, Refleksi Sajogyo: Dari Praktek ke Teori dan ke Praktek Yang Berteori, Jakarta, Yayasan Agro Ekonomika.

Smith, Adam, 1976, The Wealth of Nations, Chicago, The University of Chicago Press.

World Bank, 1993, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, New York, Oxford University Press.

Catatan Kunjungan Tim PUSTEK UGM dengan UMKM Jawa Tengah Bagian Utara

Sabtu, 30 Januari 2021 Tim Pendampingan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM berkunjung ke Semarang untuk menemui para peserta pelatihan dan pendampingan Gandeng Gendong UMKM. Tim pendampingan diketuai oleh Prof. Ambar Pertiwiningrum, serta beranggotakan Prof. Catur Sugiyanto, Prof. Lilik Sutiarso, dan Dr. Alva Edy Tontowi. Acara dimulai pada pukul 16.00, bertempat di UMKM Center Jawa Tengah. Pertemuan ini dihadiri oleh 11 peserta UMKM dari Kabupaten dan Kota Semarang, serta satu peserta dari Kabupaten Demak. 

Pengolahan makanan/kuliner menjadi usaha yang ditekuni oleh sebagian besar peserta, beberapa peserta lain menggeluti usaha pakaian. Beberapa usaha sudah dirintis sejak belasan tahun lalu, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Adanya pandemi memberi dampak besar bagi usaha mereka. Usaha yang telah berkembang belasan tahun dengan pendapatan yang cukup besar, mendadak mengalami penurunan omzet yang cukup tajam. 

Banyak usaha yang tutup atau berhenti beroperasi saat pandemi. Namun tidak sedikit pula yang bertahan dan bahkan berkembang lagi setelah menyesuaikan diri. Para peserta yang hadir di pertemuan ini adalah contoh pelaku UMKM yang masih bertahan di masa pandemi. Berbagai cara dan inovasi dilakukan oleh para peserta untuk bertahan. Salah satu cara yang paling banyak dilakukan adalah mencoba beralih ke pemasaran daring melalui media sosial dan marketplace. Meskipun banyak yang baru belajar pemasaran daring, namun hasil yang didapat cukup memuaskan. Ada juga salah satu peserta yang beralih dari bisnis pariwisata ke bisnis kuliner karena sepinya kunjungan wisatawan saat pandemi.

Pak Alva mengatakan bahwa UMKM memang harus bisa mengubah/memodifikasi produknya sesuai dengan kebutuhan pasar. Beliau juga menambahkan bahwa di saat pandemi seperti ini, pemasaran/penjualan offline harus diubah menjadi online. Pak Lilik menambahkan bahwa penjual harus memerhatikan kondisi produknya sebelum dikemas dan kemudian dijual/dikirim ke konsumen. Jangan sampai pembeli kecewa karena produk yang diterima rusak atau dalam kondisi tidak layak. 

Menurut Pak Catur, banyak UMKM yang memiliki daya tahan tinggi terhadap krisis sebagai contohnya adalah peserta yang hadir. Para pengusaha tersebut pada umumnya telah memiliki strategi untuk dalam menghadapi krisis, hanya saja kemampuan tersebut perlu diasah. Pelatihan dan pendampingan UMKM yang diselenggarakan PSEK UGM bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatkan dan mengasah kemampuan para pegiat UMKM. 

Kegiatan pertemuan dengan para pegiat UMKM, dilanjutkan kembali pada hari Minggu, 1 Februari 2021 di Pati. Tim pendampingan mengundang peserta pelatihan yang bertempat tinggal di Kabupaten Kudus, Pati, dan Rembang. Pertemuan ini dimulai pada pukul 11.30, diikuti oleh enam pegiat UMKM yang berasal dari ketiga kabupaten tersebut. 

Pertemuan ini cenderung informal dan berlangsung cukup cair karena hanya diikuti sedikit peserta dan berlokasi di tempat umum. Para peserta membawa produk masing-masing dan memperkenalkannya ke forum. Mereka juga cerita tentang perjalanan singkat usahanya, termasuk upaya dalam mengatasi dampak pandemi. 

Diskusi ringan pun berlangsung antara tim pendamping dengan para peserta selama kurang lebih tiga jam. Peserta mendapat masukan tentang cara penjualan daring dan pengemasan. Para peserta cukup antusias dalam mengikuti diskusi ini. Meskipun mengalami penurunan omzet yang cukup drastis, namun mereka tampak tetap semangat untuk melanjutkan usahanya dengan berbagai inovasi yang dilakukan.

KANDANG DOMBA KOMUNAL: Peresmian Padepokan Kandang Plosok dari dan untuk Taruna Tani Sriharjo

Bantul, bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 30 Januari 2020, Pukul 09.00 WIB, Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem (DPTB), Fakultas Teknologi Pertanian UGM menyerahkan secara resmi kandang domba komunal di Desa Sriharjo, Bantul, Imogiri. Acara ini merupakan bagian dari pendampingan Agro-Environmental Edu-Park Technology (Taman Teknologi Pertanian) di Desa Sriharjo sejak tahun 2018, merupakan kerjasama dengan Yanmar Environmental Sustainability Support Association (YESSA), Jepang. Kegiatan ini melibatkan pendampingan dari para Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM.

Suasana Persiapan Serah terima Kandang Secara Simbolis

Pendampingan Taman Teknologi Pertanian di Desa Sriharjo mengambil tema Knowledge Development for Agricultural Sustainability in Agropolitan Area for Community Welfare. Tema ini dipilih karena DTPB menyadari bahwa dalam setiap penerapan teknologi, faktor manusia selalu berpengaruh pada keberhasilan teknologi tersebut.

Pengetahuan yang dimiliki sumberdaya manusia merupakan faktor kunci karena manusia merupakan pengguna teknologi sekaligus penerima manfaat. Salah satu fokus pemberdayaan masyarakat yang dilakukan adalah budidaya ternak domba yang nantinya akan diserahkan kepada Taruna Tani Desa Sriharjo.

Kegiatan ini dimulai dengan edukasi masyarakat tentang ternak domba, peternakan terintegrasi, dan pengolahan limbah yang dilakukan bersama peneliti PUSTEK UGM sebagai pendamping. Di lanjutkan pembangunan kandang domba komunal yang dilakukan gotong-royong Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan swadaya masyarakat desa.

Kegiatan serah terima kandang domba komunal yang diberi nama “Padepokan Kandang Plosok Taruna Tani Hijaunya Cinta” dari ketua pendamping, Prof. Lilik Soetiarso, kepada Ketua Kelompok Taruna Tani Hijaunya Cinta, Anton, di lokasi kandang komunal tepatnya di Dusun Sompok, Desa Sriharjo, Imogiri, Bantul.

Serah terima disaksikan langsung oleh perangkat desa, masyarakat setempat dan beberapa perwakilan pendamping dari Fakultas Teknologi Pertanian dan PUSTEK UGM. Harapannya dengan adanya pendampingan ternak domba dan pembangunan kandang domba komunal menjadi salah satu media pembelajaran di Taman Teknologi Pertanian Desa Sriharjo dan dapat meningkatkan ekonomi lokal masyarakat setempat secara berkelanjutan.

Sumber: ugm.ac.id/id/berita/20695-ftp-ugm-serahkan-bantuan-kandang-domba-komunal

Pendampingan Gandeng Gendong UMKM Wilayah DIY

Yogyakarta, menindaklanjuti kegiatan pelatihan Gandeng Gendong UMKM, Tim Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PUSTEK UGM) melakukan kunjungan pendampingan ke beberapa UMKM. Kunjungan UMKM di Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan pada 15 – 18 Januari 2021. Lokasi UMKM yang dikunjungi mencakup semua kabupaten/kota di Provinsi DIY yakni: Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan Yogyakarta. 

Ada tiga anggota tim pendamping yang bertugas mengunjungi lokasi usaha UMKM. Setiap anggota tim, mengunjungi 2 – 3 lokasi UMKM. Total ada 8 UMKM yang dikunjungi di wilayah DIY. Kedelapan UMKM tersebut cukup beragam jenis usahanya, yakni olahan makanan dan minuman, pertanian, batik, dan jasa. Skala usaha juga cukup beragam, ada yang hanya bekerja sendiri hingga ada skala usaha yang cukup besar dan mempekerjakan belasan orang. Beberapa usaha merupakan warisan dari orangtuanya, seperti salah satu usaha batik di Kota Yogyakarta yang kini memasuki generasi keempat. 

Dalam kunjungannya, tim pendamping sekaligus mengumpulkan data dengan cara mengajukan  beberapa pertanyaan terkait usaha yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan untuk mengetahui profil UMKM secara lebih rinci melalui analisis SWOT dan Teknometrik. Selain itu tim pendamping juga melakukan diskusi terkait perkembangan usahanya termasuk juga permasalahan yang dialami. Selain melakukan wawancara, tim pendamping juga mengamati proses produksi dan melihat-lihat beberapa produk yang dihasilkan.

Pandemi memberikan dampak yang sangat besar terhadap semua sektor usaha, begitu juga dengan UMKM yang dikunjungi. Meskipun mengalami penurunan omzet yang cukup signifikan, namun mereka dapat bertahan dengan cara masing-masing. Mulai dari meningkatkan porsi pemasaran online hingga membuat berbagai inovasi produk. 

Pemasaran online masih merupakan hal yang relatif baru bagi UMKM. Meskipun sebagian sudah menerapkannya sejak sebelum pandemi, namun mereka masih merasa kesulitan dalam mengoptimalkan pemasaran online-nya. Para pegiat UMKM yang ditemui memang mengakui bahwa kini pemasaran produk secara online merupakan suatu keharusan.

Para pegiat UMKM cukup antusias ketika tempat usaha mereka dikunjungi oleh tim pendampingan. Mereka senang karena dapat berbagi cerita dan mendiskusikan usahanya. Besar harapan mereka agar ada kerjasama lebih lanjut antara pelaku UMKM dengan akademisi agar dapat bertahan dan bahkan berkembang di saat krisis. 

Turun Gunung Bertemu Penggiat UMKM, Tetap Tangguh di Masa Pandemi

Jawa Tengah, Jumat-Sabtu, 15-17 Januari 2021, Tim Pendamping Gandeng-Gendong UMKM dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM melakukan kunjungan dan pendampingan UMKM di Wonosobo, Banjarnegara, dan Purwokerto. Rangkaian kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan pelatihan online GANDENG-GENDONG UMKM di Era 4.0 TANGGUH DI MASA PANDEMI COVID-19 yang diselenggarakan pada tanggal 14-18 Desember 2020 oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri.

Pendampingan hari pertama dilakukan di Wonosobo, lokasinya di rumah Ketua (Pekerja Migran Indonesia) Wonosobo, tepatnya di Desa Tracap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo. Desa Tracap merupakan desa dengan mayoritas penduduknya merupakan buruh migran dan sekembalinya dari luar negeri para buruh migran merintis usaha di desa asal berbekal modal bekerja di luar negeri.

Dihadiri 19 peserta ex-buruh migran yang berasal dari berbagai desa di Wonosobo, mereka merintis usaha kecil dan menengah seperti olahan pangan ikan crispy, perikanan, catering, dawet hitam, kopi, pertanian dan perkebunan terutama cabai, porang, ketela, kelapa dan duren.

Pendampingan hari kedua diselenggarakan di Purwokerto, diikuti 4 peserta UMKM dengan membawa contoh produk seperti keripik dan pilus kentang, manisan carica dan terong, dan berbagai olahan pangan lainnya. Terakhir, pendampingan dilakukan di salah satu peserta UMKM, yang merupakan salah satu pengurus Desa Wisata Gerduren, Purwokerto.

Kegiatan pendampingan hari terakhir diikuti 6 peserta UMKM dengan produk lebih bervariasi dari hari sebelumnya, seperti kerajinan kain eco-print, jasa pengelola desa wisata, budidaya jamur tiram, dan jasa sablon.

Setiap kegiatan pendampingan diawali dengan pengisian kuesioner oleh peserta UMKM dan didampingi oleh tim pendamping dari PUSTEK UGM. Pengisian kuesioner dimaksudkan untuk mengukur profil UMKM sehingga setiap peserta dapat mengenali kelebihan dan peluang UMKM dan juga mengatasi kelemahan dan tantangan pengembangan UMKM yang sedang dibangun.

Kegiatan juga dilanjutkan diskusi bersama dengan pelaku UMKM. Pada tahap ini para pendamping secara langsung dan sistematis memberikan solusi-solusi terkait permasalahan yang dihadapi para UMKM. Rata-rata peserta UMKM berkonsultasi terkait proses produksi, pengemasan produk, pemasaran, akses permodalan, dan tips menghadapi kompetisi dengan pelaku usaha sejenis.

Rencananya kegiatan pendampingan akan dilanjutkan di kluster-kluster kota lainnya seperti Semarang, Rembang, Pati, dan Provinsi Yogyakarta. Diharapkan kegiatan pendampingan terus berkelanjutan ke depannya.

Gandeng-Gendong UMKM di Era Industri 4.0 di Masa Pandemi Covid-19

Sektor UMKM selama pandemi ini termasuk yang terpukul berat. Sejumlah permasalahan usaha terkait dengan dampak pandemi Covid-19 dihadapinya. Penjualan menurun drastis, kesulitan permodalan, penumpukan barang akibat rendahnya minat beli, pengurangan jumlah tenaga kerja dan lain-lain.

Ini merupakan tanggungjawab bersama, tidak hanya pemerintah. Perguruan tinggi juga memiliki tanggungjawab besar. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PUSTEK UGM) mengambil peran dalam hal ini. Bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri (BSM) turut berperan serta dalam pendampingan UMKM untuk tetap mampu bertahan di masa pandemi.

Hal yang dilakukan ini merupakan salah satu aplikasi dari tridharma perguruan tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Program dalam bentuk pelatihan dan pendampingan menjadi pilihan PUSTEK UGM.

Tentu saja pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk membantu memulihkan keberlangsungan usaha pada sektor UMKM. Sejumlah kebijakan telah ditempuh seperti: Bantuan Tunai Langsung (BTL), restrukturisasi dan subsidi suku Bunga kredit bagi UMKM, relaksasi pajak, belanja di warung tetangga dan lain-lain. PUSTEK UGM mengambil peran karena masih perlu banyak sinergi dari berbagai pihak, karena masa pandemi tidak bisa diprediksi kapan berakhir. Bisa jadi akan berlanjut beberapa tahun kedepan.

drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D selaku caretaker PUSTEK UGM menyampaikan bahwa pendampingan terhadap UMKM di Jawa Tengah dan DIY dilakukan baik secara online ataupun offline. Sejumlah kegiatan yang akan dilaksanakan adalah penyuluhan dan pelatihan pemasaran on-line yang ditujukan untuk meningkatkan daya tarik dan efektifitas promosi melalui media pemasaran elektronik.

“Disamping itu adanya kegiatan pendampingan untuk pengembangan produk baru agar dapat memenuhi permintaan konsumen pada masa pandemic covid-19, seperti: produksi produk kesehatan SPA herbal, minuman herbal atau batik berbahan alam dengan desain yang unik dan simple. Kesemua produk tersebut dihasilkan oleh UMKM yg mengikuti pada pelatihan dan pendampingan yang diselenggarakan PUSTEK UGM. Untuk meningkatkan aktivitas pemasaran juga diberikan strategi jitu dari para praktisi marketing tingkat nasional seperti Pak Handojo yang merupakan konsultan marketing nasional” tutur Ika.

Aktivitas pendampingan ini disambut baik oleh para peserta. Pelatihan ini bisa berdampak positif bagi UMKM. Peserta memahami strategi pemasaran online dan mengimplementasikannya untuk mendongkrak penjualan. Pelaku UMKM juga menjadi lebih berani beralih dari produk lama ke produk baru dengan menghasilkan produk yang beragam sesuai peluang bisnis yang ada pada masa pendemi Covid-19.

“Kondisi tersebut menunjukkan Pendampingan ini akan terus dilakukan oleh Pustek UGM, mengingat kerjasama dengan UMKM selaku mitra ini akan terus berlanjut meskipun pandemi Covid-19 berakhir, sehingga diharapkan dapat terus membantu UMKM dalam meningkatkan kinerja usahanya”, imbuh Ika.

Pelatihan dilaksanakan selama 5 (lima) hari, setelah itu dilanjutkan dengan pendampingan dengan waktu dan tempat yang disesuaikan antara Tim PUSTEK UGM dan peserta. Pelaksanaan program berlangsung selama bulan Desember 2020 dan Januari 2021.

Pemateri berasal dari akademisi dan juga dari praktisi. Tim Akademisi UGM yang turut berpartisipasi dalam program ini antara lain:

  1. Prof. Ir. Ambar Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., IPM., ASEAN. Eng
  2. Prof. Dr. Ir. Lilik Sutiarso, M.Eng
  3. Prof. Dr. Catur Sugiyanto, MA., Ph.D
  4. Ir. Alva Edy Tontowi,M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN. Eng.

Materi yang disampaikan cukup beragam. Mulai dari paparan kebijakan pemerintah dalam upaya menyelamatkan UMKM di masa pandemi Covid-19, hingga bagaimana cara UMKM dapat bangkit dari krisis. Materi pelatihan yang diberikan dalam pelatihan adalah sebagai berikut:

  1. Membangun usaha yang inovatif & kompetitif
  2. Manajemen Keuangan
  3. Manajemen Pemasaran
  4. Manajemen Operasi & Organisasi
  5. Kelembagaan & Aspek Legal

Secara umum materi tersebut menyampaikan strategi pengembangan diversifikasi produk dalam membaca peluang pasar, strategi pemasaran dalam menyiasati kondisi Pandemi Covid-19, serta pemanfaatan teknologi sosial media dalam mendukung pengembangan pasar UMKM.

Pelatihan diikuti oleh sekitar 100 pelaku UMKM yang terdiri dari berbagai bidang usaha seperti olahan makanan, jasa, kerajinan dan sebagainya. Para peserta ini berasal dari berbagai Kabupaten di Jawa Tengah dan DIY. Sebaran peserta berasal Banyumas, Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen, Purworejo, Semarang, Magelang, Surakarta, Gunungkidul, Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta, dan Kulonprogo. Antusias peserta cukup tinggi, ini terlihat dari banyaknya pertanyaan kepada narasumber. Terutama terkait permasalahan yang dihadapi di masa pandemi Covid-19 ini.

Penulis: TAP
Editor: RJB/PI

Terobosan Pustek UGM di Kala Pandemi: Membantu Pasar Rakyat dan Pasar Desa Berjualan secara Online

Indonesia saat ini memiliki lebih dari 14.000 unit pasar tradisional. Jumlah sebanyak ini jika mampu dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, potensi besar ini juga dibarengi dengan permasalahan yang besar.

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (Pustek UGM) mengelompokkan permasalahan yang dihadapi oleh pasar tradisional dalam 3 aspek yakni intelektual (sumber daya manusia), institusional (kelembagaan), dan material (infratruktur, bisnis, dan teknologi). Demikian penjelasan secara singkat yang diberikan oleh Istianto Wibowo (FEB UGM 1998), salah satu staff peneliti di Pustek UGM, ketika diwawancarai oleh Kagama.id.

Pada tahun 2011, Pustek UGM mengembangkan program bernama Sekolah Pasar. Program ini bertujuan untuk mendorong potensi dan mengurai permasalahan di pasar tradisional melalui pengembangan 3 aspek yang telah disebut di atas. Hingga saat ini program Sekolah Pasar telah berjalan di 9 pasar yakni Pasar Kranggan Yogyakarta (2012), Pasar Cokrokembang Klaten (2012), Pasar Grabag Purworejo (2012), Pasar Sambilegi Sleman (2013), Pasar Dlingo Bantul (2013), Pasar Dangwesi Bantul (2013), Pasar Potorono Bantul (2013), Pasar Burung Trenggalek (2016), dan Pasar Kolombo, Condongcatur, Sleman (2020).

Tantangan yang dihadapi oleh pasar tradisional semakin berkembang. Dahulu, menghadapi tantangan dari pasar modern (hipermarket, supermarket, dan minimarket). Beberapa tahun terakhir tantangan tersebut bertambah dalam wujud belanja online.
Pasar tradisional perlu untuk merespon tantangan tersebut agar dapat bertahan dan berkembang. Salah satu yang perlu dipikirkan adalah membuat fasilitas belanja online di pasar tradisional.

Kondisi ini menemukan momentum dengan adanya pandemi Covid-19. Pasar rakyat dan pasar desa yang selama ini menjalankan pola bisnis secara konvensional pun mencoba untuk mengikuti perkembangan jaman.
Pustek UGM mencoba menginisiasi pembuatan fasilitas belanja online di pasar tradisional. Pada Juli 2020 diluncurkan www.pasarsambilegi.id sebagai fasilitas belanja online di Pasar Sambilegi, Sleman. Platform ini dibuat bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.

Diawali oleh keprihatinan pedagang yang mengeluhkan omzet penjualan yang semakin menurun di kala pandemi, Pasar Kolombo yang berstatus sebagai pasar desa atau pasar kalurahan mengikuti merambah dunia digital. Pada tanggal 26 Desember 2020 diluncurkan website www.pasarkolombo.id yang merupakan hasil sinergi antara Pemerintah Kalurahan Condongcatur dengan Mubyarto Institute, dan tentu saja didukung sepenuhnya oleh Pustek UGM.

“Keberadaan fasilitas belanja online diharapkan dapat meningkatkan daya saing pasar tradisional dan berkontribusi pada upaya pencegahan penularan Covid-19.” ungkap Istianto.

Di balik keberadaan laman pasarsambilegi.id dan pasarkolombo.id ada sesosok web developer bernama Baskara Febrianto yang merupakan alumnus Fakultas Ekonomi & Bisnis UGM angkatan 2000. Dialah yang menyusun fasilitas belanja online bersama pedagang dan pengelola pasar. Setelah selesai barulah dipasrahkan kepada admin untuk mengelolanya sendiri. Yang bertugas menjadi admin adalah orang-orang dari paguyuban atau pengelola pasar.

Baskara mengatakan web aplikasi buatannya ringan dibuka. Kemudian karena merupakan singe page application, menjadi enak untuk interaksi. Aksesnya menjadi cepat sebab di dalamnya tidak perlu reload seperti web tradisional. “Untuk pembeli juga tidak perlu daftar member seperti umumnya kita beli di e-commerce atau marketplace, namun pembeli tetap dapat menyimpan riwayat pembeliannya di browser dan dapat di lihat sewaktu-waktu.” demikian pungkas Baskara.

Sumber: Kagama.id