Ekonom UGM, Elan Satriawan, M.Ec., Ph.D., menyoroti pentingnya kebijakan pembangunan berbasis data dan hasil riset dalam membangun ekonomi yang inklusif. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, alih-alih mengentaskan kemiskinan itu sendiri. “Statistik menunjukkan kelas menengah ini turun menuju kelas menengah dan rentan. Walaupun belum jatuh (ke kelas miskin), ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Elan Satriawan dalam sesi Diskusi Teras Pusekra UGM
Publikasi
Kampoeng Kakao Menoreh, sebuah inisiatif yang diusung oleh generasi muda di Kalurahan Banjarharjo, Kapanewon Kalibawang, resmi diluncurkan pada Kamis, 13 Februari 2024. Program ini bertujuan untuk mengembangkan potensi kakao lokal melalui sinergi antara sektor perkebunan, pengolahan, dan pariwisata, serta memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal.
Acara launching ini dihadiri oleh sejumlah pihak terkait, termasuk Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulon
Istilah “Ekonomi Pancasila” baru muncul pada tahun 1967 dalam suatu artikel Dr. Emil Salim. Ketika itu belum begitu jelas apa yang dimaksud dengan istilah itu. Istilah itu menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1979, Emil Salim membahas kembali yang dimaksud dengan “Ekonomi Pancasila”. Pada pokoknya “Ekonomi Pancasila” adalah suatu konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik
Diskusi ini bertujuan untuk membahas tantangan dan peluang yang akan dihadapi oleh pemerintahan baru, baik dari sisi ekonomi maupun politik.
Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber utama: Peneliti Senior PUSEKRA UGM, Dr. Dumairy, M.A., dan Wakil Rektor UGM, Dr. Arie Sudjito, S.Sos., M.Si. Sementara itu, Kepala PUSEKRA UGM, Dr. Rachmawan Budiarto, berperan sebagai moderator.
Dalam diskusi ini, para pakar menganalisis berbagai warisan kebijakan dan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan yang baru terbentuk, dengan fokus pada ketimpangan ekonomi dan dinamika politik yang semakin kompleks.
Warisan dan Titipan Kebijakan
Pemerintahan baru, menurut Dr. Dumairy, tidak memulai perjalanan mereka dari titik nol. Banyak kebijakan dan program yang sudah ada sebelumnya yang akan diteruskan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disusun oleh pemerintahan sebelumnya.
Selain itu, proyek strategis nasional dan kebijakan fiskal yang telah berjalan, seperti program makan siang gratis dan kebijakan terkait APBN, turut menjadi pertimbangan dalam perencanaan pemerintahan baru.
“APBN 2025 merupakan hasil rancangan pemerintahan sebelumnya, yang diprediksi akan mengalami defisit anggaran sebesar 616 triliun rupiah. Pemerintah saat ini mencoba mengubah istilah defisit menjadi ‘pembiayaan anggaran’ untuk menciptakan kesan positif, meskipun tantangan dalam pengelolaan utang negara tetap menjadi perhatian utama,” ujar Dr. Dumairy.
Tantangan Ekonomi dan Ketimpangan
Salah satu isu krusial yang dibahas dalam diskusi ini adalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin tajam.
Sebagian besar nilai tambah ekonomi sering kali hanya dinikmati oleh pemegang modal besar, sementara kesejahteraan pekerja tidak mengalami peningkatan signifikan. Fenomena ini berkontribusi pada ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.
Dr. Dumairy menjelaskan, “Diskusi ini menyoroti bagaimana Pancasila sebagai dasar negara menekankan keadilan sosial, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, kebijakan yang diimplementasikan cenderung lebih berfokus pada pertumbuhan tanpa mempertimbangkan pemerataan ekonomi yang berkeadilan.”
Menurut Dr. Dumairy, pemerintahan baru harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak hanya berbasis angka, tetapi juga mencerminkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Demokrasi dan Oligarki Politik
Di sisi politik, pemerintahan baru dihadapkan pada tantangan serius berupa pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi Indonesia.
Meskipun sistem politik Indonesia telah mengalami desentralisasi dalam beberapa dekade terakhir, namun tanpa disertai dengan reformasi sistem kepartaian yang memadai, partai-partai politik di Indonesia masih didominasi oleh elite-elite tertentu yang memperkuat kepentingan oligarki ekonomi.
“Meningkatnya biaya politik dalam pemilu menjadikan politik semakin eksklusif bagi mereka yang memiliki sumber daya finansial besar,” kata Dr. Arie Sudjito. “Hal ini menyebabkan minimnya keterwakilan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan semakin memperkuat kekuatan oligarki dalam pemerintahan.”
Reformasi sistem politik yang lebih inklusif dan representatif menjadi keharusan agar kekuatan politik tidak hanya dikuasai oleh segelintir elit, tetapi dapat mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang lebih luas.
Reformasi yang Diperlukan
Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintahan baru perlu melakukan beberapa reformasi mendasar. Salah satunya adalah tata ulang kepemilikan dan pengelolaan sumber daya ekonomi, termasuk tanah, tambang, dan sektor-sektor strategis lainnya, agar lebih berpihak pada rakyat.
Selain itu, reformasi sistem kepartaian juga penting untuk memastikan adanya partisipasi politik yang lebih inklusif dan mengurangi dominasi oligarki dalam politik.
Dr. Arie Sudjito menegaskan, “Jika pemerintahan tidak segera melakukan reformasi ini, maka kita akan menghadapi siklus yang terus berulang di mana ketimpangan ekonomi dan politik semakin tajam, menghambat pertumbuhan yang berkeadilan.”
Penting juga untuk memperkuat peran pendidikan dan kampus dalam ekonomi rakyat. Dunia akademik harus berkontribusi pada penguatan ekonomi berbasis masyarakat yang lebih berkeadilan, bukan hanya berfokus pada pertumbuhan yang tidak merata.
Tantangan dan Harapan
Diskusi Teras Pusekra edisi pertama ini diakhiri dengan pesan dari Dr. Rachmawan Budiarto, yang menyampaikan harapannya agar pemahaman yang lebih baik tentang tantangan ekonomi dan politik dapat menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintahan baru.
“Melalui diskusi kritis seperti ini, diharapkan ada pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan yang dihadapi serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintahan baru demi Indonesia yang lebih adil dan sejahtera,” kata Dr. Rachmawan.
Pemerintahan baru menghadapi sejumlah tantangan besar, baik dalam aspek ekonomi maupun politik.
Dengan berbagai kebijakan yang diwariskan sebelumnya, mereka harus menemukan cara untuk menavigasi tantangan tersebut, mengelola ketimpangan yang ada, dan mendorong reformasi agar Indonesia bisa maju secara berkeadilan.
sumber: https://sekampus.com/reformasi-ekonomi-dan-politik-analisis-pusekra-ugm-tentang-pemerintahan-baru/
Anda bisa menonton ulang rekaman Diskusi Teras Pusekra UGM melalui tautan Youtube berikut!
Fokus perguruan tinggu bukan pada proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, seperti terlibat dalam pertambangan
Ia menegaskan hal itu pada diskusi bertajuk ”Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru” di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU), Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (31/1).
Karena itu masyarakat, terutama mahasiswa perlu berkonsolidasi untuk melakukan perubahan. Apabila masyarakat cepat puas dengan keadaan yang ada, transformasi ekonomi dan demokrasi politik akan sulit terjadi.
”Konsolidasi yang kuat akan mendorong transformasi demokrasi, seperti saat mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pembatalan PPN 12 persen. Saya percaya mahasiswa bisa menjadi agen potensial dalam mendukung transformasi demokrasi,” ujar Arie.
Kinerja Kabinet
Pembicara lain, ekonom UGM Dr Dumairy menilai bahwa masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet tidak seluruhnya bawaan atau program kerja baru.
Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja warisan atau turunan kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.
”Tidak gampang karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy.
Distribusi Pendapatan
Ia menilai target pembangunan ekonomi harus dibarengi pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan merata.
”Prioritas pembangunan ekonomi harus disertai dengan pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi sekarang menunjukkan bahwa prioritas pertumbuhan kurang konstitusional,” paparnya.
Ia mengusulkan agar pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengedepankan semangat keindonesiaan. Pemerintah dapat menata ulang kepemilikan penguasaan sumber daya ekonomi, seperti tambang dan lahan.
Selain itu, skema hilirisasi dapat dibuat lebih merakyat sehingga masyarakat juga dapat turut menikmati hasilnya. Masyarakat harus mendapatkan manfaat hilirisasi.
sumber: https://www.bisnisjogja.id/transformasi-ekonomi-dan-demokrasi-perlu-konsolidasi-rakyat-dan-mahasiswa/
Ekonom UGM Dr. Dumairy mengatakan masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet sekarang ini tidak seluruhnya program kerja baru. Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja turunan dari kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. “Tidak gampang (untuk menjalankan program turunan) karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy dalam diskusi
Menurut pengamat ekonomi energi dan peneliti senior Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) UGM, Fahmy Radhi, kebijakan ini justru berpotensi mempersulit masyarakat miskin yang bergantung pada pengecer untuk mendapatkan gas bersubsidi dengan mudah dan dekat dari rumah.
Selama ini, warga miskin dapat membeli gas 3 kg di warung-warung kecil atau pengecer di lingkungan mereka, yang sering kali buka 24 jam dan dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharuskan pergi ke pangkalan resmi yang terpusat dan hanya buka pada jam tertentu, memicu kekhawatiran akan terjadinya antrian panjang.
Protes Masyarakat
Fahmy menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya akan menambah beban bagi masyarakat miskin, tetapi juga berisiko mematikan usaha mikro dan kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada penjualan gas 3 kg.
Ia mengungkapkan, banyak pengecer skala kecil yang menjual gas dengan harga yang lebih tinggi dari harga resmi, namun masih terjangkau oleh konsumen karena lebih dekat dan praktis. Dalam beberapa kasus, pengecer bahkan menjual gas dengan harga sedikit lebih tinggi namun dengan layanan yang lebih fleksibel.
“Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, banyak usaha kecil yang akan bangkrut dan membuat masyarakat miskin semakin terjepit. Jika harga gas naik, konsumen tentu akan terbebani,” jelas Fahmy.
Selain itu, kebijakan baru ini berisiko menciptakan kesulitan dalam distribusi yang lebih terpusat dan rentan terhadap kelangkaan, karena pangkalan yang terbatas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang tersebar luas.
Alternatif Solusi
Fahmy mengusulkan solusi agar pemerintah lebih fokus pada perbaikan sistem distribusi, bukan dengan melarang pengecer. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan data yang valid dari Kementerian Sosial untuk menentukan penerima subsidi gas 3 kg, sehingga bantuan dapat diberikan tepat sasaran.
Ia juga menyarankan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap harga jual gas 3 kg di pasar, dengan menetapkan harga jual tertinggi dan memantau apakah harga yang dibebankan oleh pengecer terlalu tinggi.
“Pengawasan terhadap harga jual gas di tingkat pengecer harus lebih ketat, karena pemerintah daerah memiliki peran penting dalam memastikan harga yang wajar. Jika terjadi penyimpangan harga yang ekstrem,
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM membuka kesempatan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada untuk terlibat dalam penelitian berjudul Pengembangan Ekonomi Lokal di Ekosistem Lahan Basah Mangrove dan Gambut di Provinsi Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan dengan Tema Ekowisata dan Pewarna Alami.
Penelitian ini memperoleh pendanaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui skema Matching Fund.
Penelitian mengambil