Arsip:

Publikasi

Ekonom UGM Sarankan Penguatan Kelas Menengah untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Ekonom UGM, Elan Satriawan, M.Ec., Ph.D., menyoroti pentingnya kebijakan pembangunan berbasis data dan hasil riset dalam membangun ekonomi yang inklusif. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, alih-alih mengentaskan kemiskinan itu sendiri. “Statistik menunjukkan kelas menengah ini turun menuju kelas menengah dan rentan. Walaupun belum jatuh (ke kelas miskin), ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Elan Satriawan dalam sesi Diskusi Teras Pusekra UGM read more

Sekampus.com Diskusi Teras UGM

Membangun Ekonomi Inklusif: Elan Satriawan Bahas Solusi Atasi Kemiskinan dan Tantangan Kelas Menengah di Diskusi PUSEKRA UGM

Kampus Update! Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar acara Diskusi Teras yang membahas isu besar mengenai Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, Kemiskinan, dan Kelas Menengah. Acara ini diadakan pada Jumat, 28 Februari 2025, di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Yogyakarta. Diskusi dipandu oleh Mohammad Genta Mahardika, S.E., M.B.A., peneliti di PUSEKRA UGM, dengan pemateri utama Elan Satriawan, M.Ec., Ph.D., dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM. Pada kesempatan tersebut, Elan Satriawan memaparkan pentingnya memahami kemiskinan tidak hanya dari sisi pendapatan, tetapi juga dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. “Kemiskinan itu bukan hanya soal uang, tapi juga akses yang setara terhadap berbagai layanan dasar yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Elan, yang menekankan bahwa meskipun angka kemiskinan menurun setelah krisis ekonomi Asia 1998, perbaikan tersebut semakin melambat. Hal ini terjadi karena ketimpangan ekonomi yang masih cukup besar di Indonesia. Salah satu topik yang dibahas adalah tentang program bantuan pangan yang dulu dikenal dengan nama Raskin, yang bertujuan untuk memberikan bantuan beras kepada keluarga miskin. “Sayangnya, distribusi beras Raskin sering bermasalah, sering terlambat atau bahkan tidak tepat sasaran,” ungkap Elan. Ia menyarankan agar kebijakan sosial perlu berbasis data dan bukti yang akurat. Salah satu solusi yang ia tawarkan adalah perubahan kebijakan Raskin menjadi sistem voucher. “Dengan sistem voucher, penerima manfaat bisa lebih mudah membeli bahan pangan dengan cara yang lebih efisien,” jelasnya. Diskusi ini juga menyentuh soal kelas menengah Indonesia yang menghadapi banyak tantangan. Elan menyoroti bahwa banyak orang di kelas menengah yang masih bekerja di sektor informal, yang tidak memiliki jaminan pekerjaan dan perlindungan sosial. “Pekerjaan informal itu memang penting, tapi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kita perlu menciptakan lebih banyak pekerjaan formal yang lebih stabil dan terjamin,” katanya. Selain itu, Elan juga memberikan pandangan tentang pentingnya perlindungan sosial yang lebih baik. Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengalokasikan dana besar untuk program-program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), namun menekankan bahwa distribusi bantuan ini harus lebih tepat sasaran. “Pemerintah perlu memastikan bahwa bantuan sampai kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan,” ujar Elan. Pada bagian akhir diskusi, Elan menegaskan bahwa untuk mencapai ekonomi yang inklusif, semua lapisan masyarakat harus dapat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi. “Kesejahteraan bukan hanya soal pendapatan, tapi juga tentang kualitas hidup yang lebih baik—akses yang setara ke pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak,” tambahnya. Diskusi ini memberikan banyak wawasan tentang bagaimana kebijakan ekonomi dapat lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menciptakan pertumbuhan yang tidak hanya dinikmati oleh kelompok atas saja. Sebagai penutup, Elan berharap agar kebijakan-kebijakan yang akan datang dapat lebih merata dan berfokus pada kebutuhan rakyat, terutama dalam mengurangi ketimpangan sosial dan memperkuat kelas menengah. sumber: https://sekampus.com/membangun-ekonomi-inklusif-elan-satriawan-bahas-solusi-atasi-kemiskinan-dan-tantangan-kelas-menengah-di-diskusi-pusekra-ugm/ Penyunting: Ryan Ariyanto

Diskusi Teras PUSEKRA UGM Bahas Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Kemiskinan

Sedesa.id Yogyakarta, 28 Februari 2025 – Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan Diskusi Teras yang membahas isu penting tentang Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, Kemiskinan, dan Kelas Menengah pada Jumat, 28 Februari 2025, di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Yogyakarta. Acara ini dipandu oleh Mohammad Genta Mahardika, S.E., M.B.A., peneliti di PUSEKRA UGM, dengan pemateri utama Elan Satriawan, M.Ec., Ph.D., dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM. Dalam diskusi tersebut, Elan Satriawan menjelaskan bahwa kemiskinan tidak hanya soal pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. “Kemiskinan itu bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memiliki akses yang setara terhadap kesempatan yang mereka butuhkan,” ujar Elan. Ia juga menekankan bahwa meskipun angka kemiskinan menurun, ketimpangan sosial masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Salah satu topik yang dibahas adalah masalah program bantuan pangan Raskin yang pernah ditujukan untuk masyarakat miskin. “Meskipun niatnya baik, distribusi beras dalam program ini sering kali tidak tepat sasaran dan terlambat,” ungkap Elan. Ia kemudian mengusulkan sistem voucher sebagai alternatif yang lebih efisien. “Dengan sistem voucher, penerima manfaat bisa membeli kebutuhan pangan langsung tanpa harus bergantung pada distribusi yang terkadang bermasalah,” jelasnya. Selain itu, diskusi juga menyoroti tantangan yang dihadapi kelas menengah, yang meskipun cukup besar, masih banyak bekerja di sektor informal tanpa jaminan perlindungan sosial yang memadai. Elan mengungkapkan, “Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kita perlu menciptakan lebih banyak pekerjaan formal yang stabil dan memberikan perlindungan sosial bagi pekerja.” Elan juga membahas pentingnya perlindungan sosial dan mengapresiasi upaya pemerintah yang telah mengalokasikan dana besar untuk program bantuan sosial seperti BLT dan PKH. Namun, ia menegaskan, “Program-program ini harus lebih tepat sasaran untuk memastikan bahwa bantuan sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan.” Di akhir diskusi, Elan menegaskan bahwa kebijakan ekonomi harus memastikan manfaat dari pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Kesejahteraan bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga tentang akses yang setara terhadap kualitas hidup yang lebih baik—pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak,” tambahnya. Diskusi ini memberikan pemahaman lebih dalam tentang bagaimana kebijakan ekonomi dapat lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Dengan harapan, kebijakan-kebijakan yang diambil ke depan dapat lebih efektif dalam mengurangi ketimpangan dan memperkuat kelas menengah untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif. sumber: https://sedesa.id/diskusi-teras-pusekra-ugm-bahas-pertumbuhan-ekonomi-inklusif-dan-kemiskinan/ Penyunting: Ryan Ariyanto

Launching Kampoeng Kakao Menoreh: Meningkatkan Potensi Kakao melalui Integrasi Perkebunan, Pengolahan, dan Pariwisata

Kampoeng Kakao Menoreh, sebuah inisiatif yang diusung oleh generasi muda di Kalurahan Banjarharjo, Kapanewon Kalibawang, resmi diluncurkan pada Kamis, 13 Februari 2024. Program ini bertujuan untuk mengembangkan potensi kakao lokal melalui sinergi antara sektor perkebunan, pengolahan, dan pariwisata, serta memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal.

Acara launching ini dihadiri oleh sejumlah pihak terkait, termasuk Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulon read more

EKONOMI PANCASILA DALAM TINJAUAN FILSAFAT ILMU

Istilah “Ekonomi Pancasila” baru muncul pada tahun 1967 dalam suatu artikel  Dr. Emil Salim. Ketika itu belum begitu jelas apa yang dimaksud dengan istilah itu. Istilah itu menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1979,  Emil Salim membahas kembali yang dimaksud dengan “Ekonomi Pancasila”. Pada pokoknya “Ekonomi Pancasila” adalah suatu konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai  titik read more

Reformasi Ekonomi dan Politik: Analisis PUSEKRA UGM tentang Pemerintahan Baru

Yogyakarta, 31 Januari 2025 — Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PUSEKRA UGM) baru-baru ini mengadakan Diskusi Teras Pusekra edisi pertama, yang mengangkat tema Prediksi Masa Depan Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru.

Diskusi ini bertujuan untuk membahas tantangan dan peluang yang akan dihadapi oleh pemerintahan baru, baik dari sisi ekonomi maupun politik.

Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber utama: Peneliti Senior PUSEKRA UGM, Dr. Dumairy, M.A., dan Wakil Rektor UGM, Dr. Arie Sudjito, S.Sos., M.Si. Sementara itu, Kepala PUSEKRA UGM, Dr. Rachmawan Budiarto, berperan sebagai moderator.

Dalam diskusi ini, para pakar menganalisis berbagai warisan kebijakan dan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan yang baru terbentuk, dengan fokus pada ketimpangan ekonomi dan dinamika politik yang semakin kompleks.

Warisan dan Titipan Kebijakan

Pemerintahan baru, menurut Dr. Dumairy, tidak memulai perjalanan mereka dari titik nol. Banyak kebijakan dan program yang sudah ada sebelumnya yang akan diteruskan.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disusun oleh pemerintahan sebelumnya.

Selain itu, proyek strategis nasional dan kebijakan fiskal yang telah berjalan, seperti program makan siang gratis dan kebijakan terkait APBN, turut menjadi pertimbangan dalam perencanaan pemerintahan baru.

“APBN 2025 merupakan hasil rancangan pemerintahan sebelumnya, yang diprediksi akan mengalami defisit anggaran sebesar 616 triliun rupiah. Pemerintah saat ini mencoba mengubah istilah defisit menjadi ‘pembiayaan anggaran’ untuk menciptakan kesan positif, meskipun tantangan dalam pengelolaan utang negara tetap menjadi perhatian utama,” ujar Dr. Dumairy.

Tantangan Ekonomi dan Ketimpangan

Salah satu isu krusial yang dibahas dalam diskusi ini adalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin tajam.

Sebagian besar nilai tambah ekonomi sering kali hanya dinikmati oleh pemegang modal besar, sementara kesejahteraan pekerja tidak mengalami peningkatan signifikan. Fenomena ini berkontribusi pada ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.

Dr. Dumairy menjelaskan, “Diskusi ini menyoroti bagaimana Pancasila sebagai dasar negara menekankan keadilan sosial, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, kebijakan yang diimplementasikan cenderung lebih berfokus pada pertumbuhan tanpa mempertimbangkan pemerataan ekonomi yang berkeadilan.”

Menurut Dr. Dumairy, pemerintahan baru harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak hanya berbasis angka, tetapi juga mencerminkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Demokrasi dan Oligarki Politik

Di sisi politik, pemerintahan baru dihadapkan pada tantangan serius berupa pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi Indonesia.

Meskipun sistem politik Indonesia telah mengalami desentralisasi dalam beberapa dekade terakhir, namun tanpa disertai dengan reformasi sistem kepartaian yang memadai, partai-partai politik di Indonesia masih didominasi oleh elite-elite tertentu yang memperkuat kepentingan oligarki ekonomi.

“Meningkatnya biaya politik dalam pemilu menjadikan politik semakin eksklusif bagi mereka yang memiliki sumber daya finansial besar,” kata Dr. Arie Sudjito. “Hal ini menyebabkan minimnya keterwakilan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan semakin memperkuat kekuatan oligarki dalam pemerintahan.”

Reformasi sistem politik yang lebih inklusif dan representatif menjadi keharusan agar kekuatan politik tidak hanya dikuasai oleh segelintir elit, tetapi dapat mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang lebih luas.

Reformasi yang Diperlukan

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintahan baru perlu melakukan beberapa reformasi mendasar. Salah satunya adalah tata ulang kepemilikan dan pengelolaan sumber daya ekonomi, termasuk tanah, tambang, dan sektor-sektor strategis lainnya, agar lebih berpihak pada rakyat.

Selain itu, reformasi sistem kepartaian juga penting untuk memastikan adanya partisipasi politik yang lebih inklusif dan mengurangi dominasi oligarki dalam politik.

Dr. Arie Sudjito menegaskan, “Jika pemerintahan tidak segera melakukan reformasi ini, maka kita akan menghadapi siklus yang terus berulang di mana ketimpangan ekonomi dan politik semakin tajam, menghambat pertumbuhan yang berkeadilan.”

Penting juga untuk memperkuat peran pendidikan dan kampus dalam ekonomi rakyat. Dunia akademik harus berkontribusi pada penguatan ekonomi berbasis masyarakat yang lebih berkeadilan, bukan hanya berfokus pada pertumbuhan yang tidak merata.

Tantangan dan Harapan

Diskusi Teras Pusekra edisi pertama ini diakhiri dengan pesan dari Dr. Rachmawan Budiarto, yang menyampaikan harapannya agar pemahaman yang lebih baik tentang tantangan ekonomi dan politik dapat menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintahan baru.

“Melalui diskusi kritis seperti ini, diharapkan ada pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan yang dihadapi serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintahan baru demi Indonesia yang lebih adil dan sejahtera,” kata Dr. Rachmawan.

Pemerintahan baru menghadapi sejumlah tantangan besar, baik dalam aspek ekonomi maupun politik.

Dengan berbagai kebijakan yang diwariskan sebelumnya, mereka harus menemukan cara untuk menavigasi tantangan tersebut, mengelola ketimpangan yang ada, dan mendorong reformasi agar Indonesia bisa maju secara berkeadilan.

sumber: https://sekampus.com/reformasi-ekonomi-dan-politik-analisis-pusekra-ugm-tentang-pemerintahan-baru/

Anda bisa menonton ulang rekaman Diskusi Teras Pusekra UGM melalui tautan Youtube berikut!

Transformasi Ekonomi dan Demokrasi, Perlu Konsolidasi Rakyat dan Mahasiswa

Sosiolog UGM Dr Arie Sujito menyoroti kampus sebagai institusi pendidikan seharusnya fokus pada peningkatan kualitas pendidikan.

Fokus perguruan tinggu bukan pada proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, seperti terlibat dalam pertambangan

Ia menegaskan hal itu pada diskusi bertajuk ”Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru” di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU), Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (31/1).

Karena itu masyarakat, terutama mahasiswa perlu berkonsolidasi untuk melakukan perubahan. Apabila masyarakat cepat puas dengan keadaan yang ada, transformasi ekonomi dan demokrasi politik akan sulit terjadi.

”Konsolidasi yang kuat akan mendorong transformasi demokrasi, seperti saat mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pembatalan PPN 12 persen. Saya percaya mahasiswa bisa menjadi agen potensial dalam mendukung transformasi demokrasi,” ujar Arie.

Kinerja Kabinet

Pembicara lain, ekonom UGM Dr Dumairy menilai bahwa masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet tidak seluruhnya bawaan atau program kerja baru.

Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja warisan atau turunan kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024.

”Tidak gampang karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy.

Distribusi Pendapatan

Ia menilai target pembangunan ekonomi harus dibarengi pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan merata.

”Prioritas pembangunan ekonomi harus disertai dengan pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi sekarang menunjukkan bahwa prioritas pertumbuhan kurang konstitusional,” paparnya.

Ia mengusulkan agar pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengedepankan semangat keindonesiaan. Pemerintah dapat menata ulang kepemilikan penguasaan sumber daya ekonomi, seperti tambang dan lahan.

Selain itu, skema hilirisasi dapat dibuat lebih merakyat sehingga masyarakat juga dapat turut menikmati hasilnya. Masyarakat harus mendapatkan manfaat hilirisasi.

 

sumber: https://www.bisnisjogja.id/transformasi-ekonomi-dan-demokrasi-perlu-konsolidasi-rakyat-dan-mahasiswa/

Ekonom UGM Nilai Kinerja Ekonomi Kabinet Merah Putih Belum Terlihat

Ekonom UGM Dr. Dumairy mengatakan masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet sekarang ini tidak seluruhnya program kerja baru. Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja turunan dari kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. “Tidak gampang (untuk menjalankan program turunan) karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy dalam diskusi read more

Polemik Kebijakan Baru LPG 3 Kg Ini Tanggapan Peneliti Senior PUSEKRA UGM Fahmy Radhi

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru terkait distribusi gas LPG 3 kg bersubsidi, yang kini tidak lagi dijual melalui pengecer atau warung-warung kecil, melainkan langsung melalui pangkalan resmi. Kebijakan ini memungkinkan siapa saja untuk membuka pangkalan gas 3 kg dengan mendaftarkan usaha mereka melalui situs resmi OSS (Online Single Submission).

Menurut pengamat ekonomi energi dan peneliti senior Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSEKRA) UGM, Fahmy Radhi, kebijakan ini justru berpotensi mempersulit masyarakat miskin yang bergantung pada pengecer untuk mendapatkan gas bersubsidi dengan mudah dan dekat dari rumah.

Selama ini, warga miskin dapat membeli gas 3 kg di warung-warung kecil atau pengecer di lingkungan mereka, yang sering kali buka 24 jam dan dekat dengan lokasi tempat tinggal mereka. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharuskan pergi ke pangkalan resmi yang terpusat dan hanya buka pada jam tertentu, memicu kekhawatiran akan terjadinya antrian panjang.

Protes Masyarakat

Fahmy menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya akan menambah beban bagi masyarakat miskin, tetapi juga berisiko mematikan usaha mikro dan kecil yang selama ini menggantungkan hidupnya pada penjualan gas 3 kg.

Ia mengungkapkan, banyak pengecer skala kecil yang menjual gas dengan harga yang lebih tinggi dari harga resmi, namun masih terjangkau oleh konsumen karena lebih dekat dan praktis. Dalam beberapa kasus, pengecer bahkan menjual gas dengan harga sedikit lebih tinggi namun dengan layanan yang lebih fleksibel.

“Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, banyak usaha kecil yang akan bangkrut dan membuat masyarakat miskin semakin terjepit. Jika harga gas naik, konsumen tentu akan terbebani,” jelas Fahmy.

Selain itu, kebijakan baru ini berisiko menciptakan kesulitan dalam distribusi yang lebih terpusat dan rentan terhadap kelangkaan, karena pangkalan yang terbatas tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang tersebar luas.

Alternatif Solusi

Fahmy mengusulkan solusi agar pemerintah lebih fokus pada perbaikan sistem distribusi, bukan dengan melarang pengecer. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan data yang valid dari Kementerian Sosial untuk menentukan penerima subsidi gas 3 kg, sehingga bantuan dapat diberikan tepat sasaran.

Ia juga menyarankan agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap harga jual gas 3 kg di pasar, dengan menetapkan harga jual tertinggi dan memantau apakah harga yang dibebankan oleh pengecer terlalu tinggi.

“Pengawasan terhadap harga jual gas di tingkat pengecer harus lebih ketat, karena pemerintah daerah memiliki peran penting dalam memastikan harga yang wajar. Jika terjadi penyimpangan harga yang ekstrem,
read more

Rekrutmen Mahasiswa Merdeka Belajar Kampus Merdeka

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM membuka kesempatan kepada mahasiswa Universitas Gadjah Mada untuk terlibat dalam penelitian berjudul Pengembangan Ekonomi Lokal di Ekosistem Lahan Basah Mangrove dan Gambut di Provinsi Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan dengan Tema Ekowisata dan Pewarna Alami.

Penelitian ini memperoleh pendanaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui skema Matching Fund.

Penelitian mengambil read more